Aldi Taher, Fenomena Kelelahan Demokrasi?

Wawancara tersebut diadakan di salah satu stasiun televisi swasta dan menjadi topik hangat, memaparkan kontradiksi yang cukup mencolok di dalam demokrasi kita hari ini.

Peristiwa tersebut tidak hanya menunjukkan dua sisi koin—tawa dan air mata—tapi juga mengungkap paradoks dalam sistem politik kita yang tampak semakin meninggalkan visi ideal demokrasi.

Demokrasi dalam intisarinya dirancang sebagai instrumen yang menjamin individu yang mampu dan kompeten memiliki peluang sama untuk meraih posisi kepemimpinan.

Paradoks terjadi ketika beberapa pencalonan politik—termasuk pencalonan Aldi Taher—cenderung memicu tawa daripada menginspirasi harapan dan optimisme akan kemajuan demokrasi kita.

Sejumlah warganet, dengan berbagai alasan, bahkan menyatakan dukungan mereka kepada sosok seperti Aldi Taher.

Seakan menggambarkan ketidakpuasan dan kekecewaan terhadap sistem politik yang seharusnya mewakili suara mereka, sejumlah pihak lebih memilih “badut politik” sejati daripada politisi yang tampak pretensius, namun tak jelas arah dan tujuannya.

Ini mencerminkan apa yang bisa kita sebut sebagai ‘kelelahan demokrasi’ atau democratic fatigue.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wesley Menard Chaput (2020), kelelahan demokrasi merujuk pada kondisi di mana masyarakat merasa frustrasi dan kecewa dengan sistem politik yang dianggap tidak berfungsi, kurang efisien, atau terlalu rumit.

Faktor-faktor seperti stagnasi ekonomi, peningkatan disfungsi politik ditandai dengan polarisasi dan kepercayaan terhadap pemerintah yang merosot, serta perubahan generasi yang signifikan dalam norma budaya, berperan dalam menjelaskan fenomena ini, khususnya di kalangan milenial.

Sebagai akibatnya, masyarakat cenderung merasa lebih puas dengan demokrasi cacat yang memperkuat aktor politik populis-otoriter yang mereka dukung.

Dalam kondisi tertentu, otoritarianisme—meski berbahaya dan penuh kelemahan—dianggap sebagai alternatif yang lebih dapat diandalkan.

Ironis memang, namun ini menggambarkan sejauh mana frustrasi dan kekecewaan masyarakat terhadap demokrasi saat ini.

Kelelahan demokrasi bukan hanya tentang kerinduan akan sistem politik berbeda. Jika kita telaah lebih dalam, kelelahan demokrasi juga bisa menjadi pemicu bagi pemerintah dan masyarakat untuk mengambil langkah-langkah konkret dalam memperbaiki sistem politik.

Korupsi yang merajalela, misalnya, bukan hanya soal individu yang melakukan tindakan melanggar hukum demi keuntungan pribadi, melainkan juga tentang bagaimana struktur politik kita memfasilitasi dan memperkuat praktik koruptif tersebut.

Keberlanjutan korupsi ini semakin mempersulit kita dalam melakukan perubahan positif dalam sistem politik.

Salah satu akar permasalahan mungkin terletak pada fakta bahwa banyak orang yang diberikan tanggung jawab untuk menjaga dan melindungi institusi kita tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang prinsip dan mekanisme kerja demokrasi.

Banyak di antara mereka tidak memahami konsekuensi dari tindakan mereka, atau bagaimana keputusan mereka bisa berdampak pada kesejahteraan jangka panjang dari masyarakat yang mereka layani.

Ketiadaan pemahaman ini tidak hanya berlaku bagi mereka yang duduk di kursi pemerintahan atau lembaga legislatif, tapi juga berlaku bagi masyarakat luas.

Sebuah catatan penting: demokrasi bukan hanya soal pemilihan pemimpin, melainkan juga tentang memahami tanggung jawab bersama dalam menjaga dan memperbaiki sistem yang memungkinkan kita memilih pemimpin tersebut.

Seakan menggambarkan ketidakpuasan dan kekecewaan terhadap sistem politik yang seharusnya mewakili suara mereka, sejumlah pihak lebih memilih "badut politik" sejati daripada politisi yang tampak pretensius, namun tak jelas arah dan tujuannya.

Demokrasi bukan alat pasif, melainkan proses aktif yang membutuhkan partisipasi penuh dari masyarakat.

Inkompetensi memahami dan menjalankan peran kita dalam demokrasi bisa memicu masalah serius seperti ketidakadilan sosial, penyalahgunaan kekuasaan, dan korupsi yang merajalela.

Dalam hal ini, tanggung jawab utama penanganan ‘kelelahan demokrasi’ berada di pundak pemerintahan dan partai politik.

Namun, peran masyarakat juga tidak kalah penting. Masyarakat harus berupaya memahami kondisi sebenarnya dan bergerak mewujudkan perubahan yang diharapkan, bukan hanya menyalahkan para pemimpin atau sistem.

Ini bisa berarti perubahan dalam melihat politik: berpartisipasi aktif dalam proses politik, memilih pemimpin dengan bijak, dan mengkritisi keputusan para pemimpin.

Selain itu, mempromosikan pendidikan politik yang baik di semua lapisan masyarakat juga penting, sehingga kita semua bisa memahami bagaimana demokrasi seharusnya berfungsi dan bagaimana kita bisa berkontribusi.

Demikian pula, ini bisa berarti mendorong reformasi politik yang lebih besar. Menuntut transparansi dan akuntabilitas dari para pemimpin kita.

Mendorong pembuatan undang-undang dan peraturan yang dapat membantu memerangi korupsi dan memastikan bahwa demokrasi kita berfungsi sebagaimana mestinya.

Fenomena seperti wawancara Aldi Taher mungkin tampak lucu dan mengundang tawa, namun sebenarnya ini menunjukkan gejala kelelahan demokrasi.

Meski demikian, hal ini juga dapat menjadi pemicu bagi kita semua untuk berusaha lebih keras menjaga dan memperbaiki demokrasi kita.

Tak jarang kita terjebak dalam pandangan sempit, melihat fenomena tersebut hanya sebagai sumber hiburan atau sebagai bukti nyata dari kegagalan demokrasi kita.

Seharusnya, kita melihat ini sebagai cermin yang menunjukkan realitas sistem politik kita saat ini, dan sebagai alat untuk refleksi diri serta introspeksi atas bagaimana kita menangani demokrasi.

Kelelahan demokrasi yang kita alami saat ini bukan suatu kondisi yang tak bisa dihindari, sebaliknya ini merupakan tantangan.

Tantangan untuk memperbaiki sistem kita, untuk membangun kembali kepercayaan kita terhadap demokrasi.

Paling penting, tantangan untuk memastikan bahwa demokrasi kita benar-benar mewakili aspirasi dan kebutuhan rakyat, bukan sekadar menjadi tontonan yang mengundang tawa di layar televisi.

Demokrasi sejatinya adalah representasi dari aspirasi rakyat, bukan sebuah panggung pertunjukan.

Apabila wawancara Aldi Taher bisa mengundang gelak tawa, maka kita harus memahami bahwa tawa tersebut bukan simbol kegembiraan, melainkan simbol ironi dari realitas demokrasi kita saat ini.

Sejatinya, demokrasi melibatkan bagaimana kekuasaan digunakan untuk kebaikan bersama. Edukasi dan partisipasi aktif mencegah kelelahan demokrasi dan memastikan adaptasi demokrasi terhadap perubahan.

Demokrasi bisa menjadi sumber harapan jika dikelola dengan benar. Kita perlu memanfaatkan setiap peluang, merespons fenomena tertentu— termasuk wawancara Aldi Taher— untuk introspeksi dan memperbaiki sistem kita.

(Tulisan ini sudah diterbitkan di kompas.com dengan judul yang sama [https://news.detik.com/kolom/d-6636108/peran-baru-tiongkok-dan-impilkasi-bagi-indonesia] pada Kamis, 8 Juni 2023)

Virdika Rizky Utama