Intisari Diskusi Syndicate Forum
Jumat, 17 November 2023
AWAN MERAH: Pengalaman, Ingatan, Sejarah Masa Depan: Catatan Menjadi Indonesia Sepanjang Jalan Pasca-Reformasi
Dalam diskusi, penulis buku turut hadir bersama narasumber lainnya, termasuk Antarini Arna (pegiat Hak Asasi Manusia), Bonnie Triyana (sejarawan dan pemimpin Majalah Historia), serta Ari Nurcahyo (Direktur Eksekutif PARA Syndicate). Diskusi ini dipandu oleh Dyani Djiwa (entrepreneur dan dosen).
Baskara T. Wardaya—yang kerap disapa Romo Baskara—menuturkan bahwa menulis adalah cara baginya untuk berbagi pengalaman, selain pertanggungjawaban akademik. Dalam menulis, ia tak menihilkan sense of justice dan senses of humanity. “Keduanya penting,” tandasnya seraya menambahkan yang ia tulis adalah yang dialaminya sendiri. Adapun buku “Awan Merah” mengisahkan 20 kisah, yang sejatinya merupakan catatan dan refleksi perjalanan Romo Baskoro ke berbagai tempat setelah Reformasi 1998.
Melihat konteks hari ini, di mana ada persoalan konstitusi, Romo Baskoro menyayangkan bangsa Indonesia tampaknya melupakan sejarah dan tak waspada ketika Orde Baru berpotensi lahir kembali.
“Untuk generasi kami, ini (Reformasi) peristiwa kemarin sore, kok sekarang dilupakan dan mau balik lag (ke Orde Barui? Orde Baru itu simbol seorang ritani yang waktu itu kita sama-sama hancurkan, dan itu berhasil. Eh sekarang kok muncul terkait Orde Baru lagi?”
Menurut Romo Baskara, Orde Baru berpotensi muncul lagi karena bangsa Indonesia kurang tekun mempelajari sejarah. “Kira jarang membicarakan sejarah yang reflektif dan interogatif. Padahal refleksi itu kunci untuk perkembangan bangsa. Jadi, kita nggak jalan lurus terus ke depan, tapi penting juga untuk nengok ke belakang,” sambungnya.
Antarani Arna berharap sejarawan tak sekadar menulis peristiwa dan tanggalnya, tetapi juga harus memiliki sense of justice dan sense of humanity untuk memberi jiwa pada penulisan sejarah. “Tanpa keduanya, penulisan sejarah hanya menggambarkan rentetan peristiwa bertanggal,” ujarnya.
Baik senses of justice maupun senses of humanity, membantu untuk “menginterogasi” suatu peristiwa, termasuk perihal keapaannya dan aktor ataupun dalangnya. “Peristiwa bisa dideskripsikan, misalnya, ada fight against humanity… Kita juga bisa memastikan apakah seseorang itu pelaku, korban, atau penonton,” terangnya. “Itulah salah satu tanggung jawab pengungkapan sejarah; di situ akan memberikan truth.”
Dalam konteks tahun politik hari ini, rekam jejak calon pemimpin mesti ditelisik untuk memprediksi model kepemimpinan di masa mendatang. “Dengan rekam jejak, dengan ingatan sejarah, kita bisa mengkategorikan calon pemimpin kita itu siapa. Sehingga, minimal kita tidak keliru atau tertipu oleh para konsultan branding,” pungkasnya.
Ari Nurcahyo mengatakan spirit utama buku “Awan Merah” adalah refleksi tokoh bernama Elona yang merindukan dan mencari pantai penuh cahaya. Dalam perjalanannya, ia menemukan harta karun. Ia lalu mengaitkan kisah ini ke ranah kontekstual. Menurutnya, Elona adalah bangsa Indonesia Sementara, pantai penuh cahaya adalah tujuan Indonesia Emas 2024, yang saat ini marak dibawa dalam narasi politik sekarang. “Kita menuju ke situ, tapi bagaimana prosesnya? Pemimpin yang dipilih untuk lima tahun ke depan akan menentukan prosesnya,” tuturnya.
Bangsa Indonesia menemukan banyak harta karun. Namun, ada juga bangkai atau kebusukan yang mungkin belum terdeteksi. Adapun untuk mendeteksinya diperlukan refleksi dan ini membutuhkan keberanian, termasuk di sepanjang sejarah era Reformasi ini.
Dalam perjalanan menuju Indonesia Emas, lanjut Ari, bangsa Indonesia menemukan banyak harta karun. Namun, ada juga bangkai atau kebusukan yang mungkin belum terdeteksi. Adapun untuk mendeteksinya diperlukan refleksi dan ini membutuhkan keberanian, termasuk di sepanjang sejarah era Reformasi ini.
“Ada banyak harta karun selama Reformasi… Ada perubahan mendasar tata negara, politik, hukum, dan sebagainya. Tapi sudah 25 tahun berlalu, tampaknya perubahan itu akan ‘digulung’. Ada kebasan berekspresi, tapi sekarang sudah mulai ada represi. Ada lembaga MK (Mahkamah Konstitusi) independen, tapi sepertinya tak lagi begitu,” kata Ari sembari menyinggung perjuangan masyarakat Indonesia menentang otoritarianisme dan militerisme di penghujung era Orde Baru.
Ari menyayangkan memori kolektif mengenai kesejarahan Indonesia, khususnya sebelum Reformasi, sudah hilang. “Memori itu sudah nggak ada. Jadi ketika ‘bangkai’, ‘busuk’ berkembang lagi, itu ada pengkhianatan pada demokrasi itu sendiri,” tandasnya. “Orang tidak mendalami spirit moral, etika, bagaimana gagasan dalam peristiwa-peristiwa sejarah.”
Bonnie Triyana menyebutkan buku “Awan Merah” relevan dengan berbagai dinamika belakangan. Termasuk perihal peran Amerika Serikat (AS) dalam kemerdekaan Indonesia, yang diklaim oleh salah satu kandidat calon presiden yang berkontestasi di Pemilu 2024.
Bonnie menjelaskan peran AS baru terlihat usai Perang Dunia II, misalnya ketika Presiden AS Theodore Roosevelt mendukung Atlantic Charter, yang mendukung kemerdekaan bangsa-bangsa terjajah. Namun, di satu sisi punya hubungan baik dengan Kerajaan Belanda. “Romo Bas menjelaskan bagaimana menduanya AS, bagaimana pera. AS usai Perang Dunia II.”
AS ketika masa Revolusi mencoba mengambil peran lebih banyak di Indonesia. “Itu pun demi kepentingannya… Ketika Perang dingin, justru dia lebih berperan untuk memporak-porandakan Indonesia. Terutama dalam perebutan pengaruh,” jelasnya. “Di akhir masa kekuasaan Sukarno dan 30-an tahun masa Suharto, AS punya peran yang besar di Indonesia.”
Romo Baskara menyinggung aktivime ingatan dan banyak berfokus pada peristiwa 1965, hubungan Indonesia dengan AS, transisi kekuasaan Sukarno ke Suharto, hingga kasus ketidakadilan yang sampai sekarang belum ada kejelasan, menurut Bonnie. “Ini penting…. Ini historiorafi advokatif. Romo Bas melakukan pembelaan terhadap survivor atau korban peristiwa 1965, yang selama ini nggak banyak ditulis.”
{Tim PARA Syndicate]