Intisari Syndicate Update
Jumat, 9 Februari 2024

Capres dan Kinerja: Kala Rekam Jejak Jadi Acuan

Beberapa hari lagi Pemilihan Umum akan digelar, tepatnya 14 Februari 2024. Masa kampanye pun berakhir pada 10 Februari. Meski demikian, masih ada banyak pemilih yang belum memastikan siapa pemimpin baru yang akan dipilih, termasuk calon presiden dan wakilnya.

Litbang Kompas mencatat jumlah pemilih bimbang atau undecided voters mencapai 28,7 persen per Desember 2023. Mungkin persentase ini menurun setelah debat capres dan cawapres selesai pada 4 Februari lalu. Namun, hingga tulisan ini ditulis, belum ada lembaga survei yang merilis data mengenai jumlah undecided voters terkini.

Ketika galau memilih pemimpin, pemilih setidaknya wajib mencermati dua hal: kinerja dan rekam jejak setiap kontestan. PARA Syndicate mendalami pentingnya hal tersebut dan mendiskusikannya dalam diskusi bertajuk “Capres dan Kinerja: Kala Rekam Jejak Jadi Acuan” di kantor PARA Syndicate, Jumat, 9 Februari 2024.

Analis Exposit Strategic Arif Susanto menekankan bahwa seorang pemimpin harus memiliki keutamaan: keberanian dan tahu diri. Berani dalam arti bisa bertarung untuk mempertahankan kekuasaan yang sah; mengutamakan aspek keabsahan. Lalu berani tak populer untuk tujuan besar, dan berani menderita demi kemuliaan bersama. Adapun tahu diri, maksudnya, pemimpin mengerti keadaaan diri dan lingkungannya. “Ia akan malu manakala melakukan kesalahan, tidak memaksakan ambisi kekuasaan, serta paham etika dan menjunjung keutamaan,” tutur Arif.

“Sayangnya, dua hal ini telah lama absen dari kepemimpinan di Indonesia,” ucap Arif, seraya menyinggung kasus Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tak mundur meski melanggar etika, juga kasus Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman yang melanggar etika ketika membahas Putusan MK yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka ke kontestasi Pemilihan Presiden.

Arif mengingatkan pemilih harus cerdas dan punya pengetahuan mumpuni tentang politik. Pemilih juga diharapkan bersikap oportunis dengan menimbang kesesuaian antara preferensi dan tawaran kebijakan kandidat. Pun wajib menimbang rekam jejak sehingga bisa pastikan pilihannya dengan tepat. “Proses menimbang ini penting, karena keterkenalan nggak menjamin dia punya rekam jejak yang bagus. Pastikan calon pemimpin punya keutamaan,” tandas Arif.

Selanjutnya, penulis buku “Hitam Putih” Prasetyo Aribowo memaparkan rekam jejak salah satu capres, Ganjar Pranowo, khususnya ketika kontestan Pilpres ini menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah selama dua periode sejak 2013. Pria yang sempat bekerja di pemerintah daerah Jawa Tengah ini menjelaskan Ganjar menjadikan “mboten korupsi, mboten ngapusi” sebagai slogan pemerintahannya.

“Paradigma antikorupsi diturunkan dalam Peraturan Gubernur. Kemudian diimplementasikan melalui kolaborasi dan ada komitmen untuk berperilaku bersih tak korupsi. Ini kemudian mendorong ASN lebih terang dalam bekerja, sehingga pelayanan masyarakat jadi maksimal. Misalnya melalui digitalisasi layanan, menjadi salah satu ukuran demi pelayanan cepat, mudah, murah, dan tuntas,” jelas Prasetyo. “Saya kira itu kunci mendorong masyarakat yang lebih baik.”

Prasetyo menilai upaya untuk melawan korupsi tidaklah mudah, lantaran menyangkut kepentingan, moralitas, etika, dan implementasi. Namun demikian, rekam jejak Ganjar di Jawa Tengah menunjukkan hasil yang terbilang gemilang. “Delapan tahun saya melihat Ganjar (di pemda), saya bisa melihat Jawa Tengah mendapat penghargaan dari kementerian dan KPK dalam upaya melawan korupsi. “Tahun 2023, Jawa Tengah dinilai sebagai provinsi besar yang paling berintegritas, menurut penilaian integritas oleh KPK. Sampai akhir masa jabatan Ganjar, Jawa Tengah juga dinilai wajar tanpa pengecualian 12 kali karena anggaran dikelola secara lebih akuntabel, dan lain sebagainya,” jelasnya.

Dalam kesempatan itu, Pendiri Visi Integritas Adnan Topan Husodo mengatakan, sepanjang dirinya melakukan studi pembangunan dan isu kebijakan publik selama lebih dari 20 tahun, didapati bahwa korupsi adalah masalah terbesar bangsa. Menurutnya, program atau visi-misi kontestan akan gagal jika korupsi tak diatasi. Dari ketiga paslon yang ada, Adnan menyoroti dugaan korupsi yang dilakukan oleh salah satu capres yaitu Praboo Subianto. Ia membeberkan otoritas antikorupsi Eropa sedang melakukan penyelidikan atas kontrak pesawat tempur yang dilakukan oleh Prabowo Subianto, yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan Prabowo, dengan pemerintah Qatar melalui para brokernya. Beroker ini berada di Ceko, Eropa. “Otoritas antikorupsi Eropa menyelidiki apakah ada indikasi suap menyuap di dalam pengadaan itu, misalnya pengadaan pesawat Mirage 2.000,” tambahnya. Pesawat bekas berusia 27 tahun itu dibeli sebanyak 12 unit. “Saat dilepas pertama, dijual seharga 32-35 juta USD, tapi kita beli seharga 67 juta USD per unit. Itu kalau dikonversi ke rupiah, satu unit bisa 1 triliun. Kita beli 12 artinya 12 triliun,” jelas Adnan. Lebih lanjut, Adnan menekankan bahwa isu korupsi harus jadi prioritas untuk dijadikan pertimbangan dalam memilih presiden. Mengingat isu korupsi itu prinsipil, maka yang harus diukur ialah tekad paslon dalam mengikuti standard etika ketika mengikuti konstestasi Pilpres. Apabila paslon bersikap permisif dalam beretika, maka akan ada potensi terjadinya penyelewengan kekuasaan yang lebih besar. “Bukan lagi korupsi kecil-kecil-an,” pungkasnya. Ia turut prihatin terkait hilangnya faktor besar dalam upaya melawan korupsi: pendidikan gagal dalam membentuk manusia yang berpikir kritis. Adapun Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Indonesia Ray Rangkuti berpendapat Pemilu 2024 jauh dari substansi kepemiluan dan kenegaraan lantaran publik dihipnotis oleh pesona person, yang dalam hal ini adalah Presiden Joko Widodo. Inilah yang membuat narasi keberlanjutan menggema. “Yang muncul kemudian adalah mau melanjutkan atau melakukan perubahan. Kalau melanjutkan, apa yang dilanjutkan dan kalau perubahan, apa yang mau diubah,” katanya. Ray menilai Prabowo—yang belakangan mendapat efek elektoral berkat didukung Jokowi—kurang memahami visi dan misi Jokowi saat ini. Prabowo tampak hanya fokus pada keberlanjutan fisik melalui hilirisasi dan keberlanjutan pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara. “Sementara itu, Ganjar kelihatan lebih menguasai visi dan misi Jokowi, yang saat ini tercantum di Nawacita—di mana ini juga disusun oleh partainya, PDI Perjuangan, dan Ganjar selaku anggota,” sambungnya. Namun demikian, Ray menyayangkan Nawacita mengenai pembentuan karakterer justru tak tercapai karena nyatanya, yang terjadi saat ini adalah kehancuran mentalitas. “Contohnya dinasti politik dan ini akan menjadi contoh bagi Indonesia ke depan. Ini akan meruntuhkan kemandirian anak muda,” lanjutnya. Menyongsong Pemilu, Ray mengingatkan masyarakat untuk melihat “isi kepala para kandidat Pilpres secara utuh, dan ini harus dibarengi dengan upaya menggali rekam jejak.”

Dalam kesempatan itu, Pendiri Visi Integritas Adnan Topan Husodo mengatakan, sepanjang dirinya melakukan studi pembangunan dan isu kebijakan publik selama lebih dari 20 tahun, didapati bahwa korupsi adalah masalah terbesar bangsa. Menurutnya, program atau visi-misi kontestan akan gagal jika korupsi tak diatasi.

Dari ketiga paslon yang ada, Adnan menyoroti dugaan korupsi yang dilakukan oleh salah satu capres yaitu Praboo Subianto. Ia membeberkan otoritas antikorupsi Eropa sedang melakukan penyelidikan atas kontrak pesawat tempur yang dilakukan oleh Prabowo Subianto, yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan Prabowo, dengan pemerintah Qatar melalui para brokernya. Beroker ini berada di Ceko, Eropa. “Otoritas antikorupsi Eropa menyelidiki apakah ada indikasi suap menyuap di dalam pengadaan itu, misalnya pengadaan pesawat Mirage 2.000,” tambahnya.

Pesawat bekas berusia 27 tahun itu dibeli sebanyak 12 unit. “Saat dilepas pertama, dijual seharga 32-35 juta USD, tapi kita beli seharga 67 juta USD per unit. Itu kalau dikonversi ke rupiah, satu unit bisa 1 triliun. Kita beli 12 artinya 12 triliun,” jelas Adnan.

Lebih lanjut, Adnan menekankan bahwa isu korupsi harus jadi prioritas untuk dijadikan pertimbangan dalam memilih presiden. Mengingat isu korupsi itu prinsipil, maka yang harus diukur ialah tekad paslon dalam mengikuti standard etika ketika mengikuti konstestasi Pilpres. Apabila paslon bersikap permisif dalam beretika, maka akan ada potensi terjadinya penyelewengan kekuasaan yang lebih besar. “Bukan lagi korupsi kecil-kecil-an,” pungkasnya. Ia turut prihatin terkait hilangnya faktor besar dalam upaya melawan korupsi: pendidikan gagal dalam membentuk manusia yang berpikir kritis.

Adapun Direktur Eksekutif Lingkar Madani (LIMA) Indonesia Ray Rangkuti berpendapat Pemilu 2024 jauh dari substansi kepemiluan dan kenegaraan lantaran publik dihipnotis oleh pesona person, yang dalam hal ini adalah Presiden Joko Widodo. Inilah yang membuat narasi keberlanjutan menggema. “Yang muncul kemudian adalah mau melanjutkan atau melakukan perubahan. Kalau melanjutkan, apa yang dilanjutkan dan kalau perubahan, apa yang mau diubah,” katanya.

Ray menilai Prabowo—yang belakangan mendapat efek elektoral berkat didukung Jokowi—kurang memahami visi dan misi Jokowi saat ini. Prabowo tampak hanya fokus pada keberlanjutan fisik melalui hilirisasi dan keberlanjutan pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara. “Sementara itu, Ganjar kelihatan lebih menguasai visi dan misi Jokowi, yang saat ini tercantum di Nawacita—di mana ini juga disusun oleh partainya, PDI Perjuangan, dan Ganjar selaku anggota,” sambungnya.

Namun demikian, Ray menyayangkan Nawacita mengenai pembentuan karakterer justru tak tercapai karena nyatanya, yang terjadi saat ini adalah kehancuran mentalitas. “Contohnya dinasti politik dan ini akan menjadi contoh bagi Indonesia ke depan. Ini akan meruntuhkan kemandirian anak muda,” lanjutnya.

Menyongsong Pemilu, Ray mengingatkan masyarakat untuk melihat “isi kepala para kandidat Pilpres secara utuh, dan ini harus dibarengi dengan upaya menggali rekam jejak.”

Tim PARA Syndicate