Press Release
Untuk Dipublikasikan Segera
Kamis, 1 September 2022

Capres Elektabilitas Tinggi Dipertanyakan, Capres Alternatif Bisa Muncul

Syndicate Update – Forum Diskusi Publik

Beberapa nama capres unggulan memiliki elektabilitas tinggi menurut berbagai lembaga survei. Meski demikian, Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo menekankan bahwa paket capres-cawapres untuk Pemilu 2024 ditentukan oleh konfigurasi dan arah koalisi partai yang masih bergerak dinamis. Kondisi ini, pada ujungnya, selain capres unggulan itu, bisa saja memunculkan nama-nama baru sebagai capres alternatif.

“Penentuan paket capres-cawapres selebihnya dipilih berdasarkan otonomi partai dan pemufakatan koalisi partai,” lanjut Ari, di acara diskusi Syndicate Update bertajuk “Mencari Capres Alternatif dan Membaca Arah Koalisi” di Jakarta Selatan, Rabu (31/8).

Ari mengatakan bahwa hasil survei elektabilitas hanyalah salah satu variabel yang akan menentukan bagaimana paket capres-cawapres bisa diusung oleh partai atau gabungan partai. Faktor elektabilitas memang penting, tapi terlepas dari itu, perlu dipastikan juga bagaimana kapasitas dan kepemimpinan capres-cawapres itu. “Bagaimana kapasitasnya? Apakah figur itu mampu menjawab kebutuhan masyarakat, mampu menjawab tantangan zaman di masa mendatang, dan sebagainya?” Menurut Ari, rekam jejak tokoh seperti Sri Mulyani, Mahfud MD, Jimly Asshiddiqie, atau Rizal Ramli cukup layak kita promosikan dan ditawarkan ke partai untuk dipertimbangkan menjadi capres/cawapres alternatif.

Berangkat dari itu, maka terbuka peluang untuk mencari capres alternatif, baik dari kader partai maupun nonpartai. Namun, Ari mencatat bahwa peluang ini bergantung pada arah pergerakan politik menuju Pemilu 2024: linear atau nonlinear. “Kalau linear, politik akan berjalan sesuai diagnosa lembaga survei yang menempatkan capres/cawapres unggulan. Sementara itu, kalau nonlinear, bisa terjadi perubahan arah politik dari hasil pemufakatan partai-partai, bisa saja memunculkan capres-cawapres alternatif, untuk memastikan paket ini bisa menjawab kebutuhan negara, tantangan zaman, dan sebagainya,” jelasnya.

Pada kesempatan yang sama, Peneliti Senior Litbang Kompas Toto Suryaningtyas memaparkan hasil survei Litbang Kompas pada Juni lalu. Ia mengatakan bahwa ada tiga nama capres yang elektabilitasnya paling tinggi, yaitu Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Masing-masing elektabilitasnya 25,3 persen, 22 persen, dan 12,6 persen. Jumlah ketiganya mencapai sekitar 60 persen suara.

Jadi jika ada partai-partai yang berkoalisi mampu menembus presidential threshold dan mengajukan nama tertentu sebagai capres alternatif, maka akan terbentur situasi yang realistis: celah secara statistik sangat kecil, cuma 15 persen. Ini akan sangat sulit untuk menaikkan elektabilitas, dan kalau nekat, ini ibarat menyalahi hukum alam.

Sementara itu, pemilih yang merahasiakan pilihannya hingga responden yang berencana tidak memberikan suaranya mencapai 15,1 persen. Adapun yang menjawab lain-lain yaitu 9 persen. Persentase total keduanya mencapai sekitar 24 persen. Jika digabungkan sudah ada sekitar 85 persen suara yang sudah diidentifikasi terbaca oleh survei.

“Ini artinya 100 persen pemilih dikurangi 60 persen (responden pemilih tiga kandidat capres unggulan ) dan 24 persen (responden yang tak menjawab hingga menjawab lain- lain), sisanya hanya berkisar 15 persen,” tutur Toto. “Lima belas persen inilah yang menjadi peluang untuk capres alternatif.”

Menurut Toto, celah 15 persen itu menunjukkan bahwa ruang elektabilitas untuk capres alternatif begitu sempit. Belum lagi, celah tersebut juga diperebutkan oleh capres yang elektabilitasnya di bawah 10 persen – seperti Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, Basuki Tjahaja Purnama, Agus Harimurti Yudhoyono, Mahfud MD, dan Gatot Nurmantyo.

“Jadi jika ada partai-partai yang berkoalisi mampu menembus presidential threshold dan mengajukan nama tertentu sebagai capres alternatif, maka akan terbentur situasi yang realistis: celah secara statistik sangat kecil, cuma 15 persen. Ini akan sangat sulit untuk menaikkan elektabilitas, dan kalau nekat, ini ibarat menyalahi hukum alam,” pungkas Toto. “Tapi mengenai alternatif itu, saat ini rasanya lebih realitis ada cawapres alternatif daripada capres alternatif.”

Meski begitu, Ray Rangkuti menuturkan bahwa bukan tidak mungkin akan muncul capres alternatif. Sebab publik saat ini merasa jenuh dengan capres yang itu-itu saja. Di samping itu, masih ada waktu setahun lebih yang memungkinkan capres alternatif menonjolkan eksistensinya, sebelum Pemilu 2024 digelar. Ditegaskan Ray, diskursus capres alternatif ini perlu disuarakan ke publik untuk mendorong substansi Pilpres 2024.

Ray memperingatkan bahwa perihal penentuan capres alternatif ini, semestinya publik memastikan terlebih dahulu apa saja kebutuhan, keinginan, tantangan, dan tuntutannya untuk menjawab apa yang dibutuhkan negara. “Baru cari capres atau cawapres-nya. Bukan sebaliknya, mencari tokohnya dulu baru mengidentifikasi hal-hal tadi,” imbuhnya.

Publik perlu ikut mendorong munculnya nama-nama alternatif agar dipertimbangkan oleh partai menjadi capres atau cawapres. “Saya juga tekankan, publik jangan ragu untuk mengajukan nama yang dianggap bisa memenuhi kebutuhannya,” pungkasnya.

Lebih lanjut, Ray mengatakan bahwa capres alternatif mesti menonjolkan dan menunjukkan dirinya mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan publik. Paling tidak, setahun menjelang Pemilu 2024, “mereka bisa menaikkan elektabilitas. Tapi pastikan apakah mereka mampu memenuhi yang diharapkan publik.”

[Tim PARA Syndicate]