Intisari Diskusi Syndicate Forum
Jumat, 24 November 2023

Cipinang Undercover: Lahirnya ‘Conspiracy’ di Sel Lapas -Catatan tentang Hukum dan Keadilan

Sebelum dijebloskan ke penjara, kata Indra, dirinya didatangi oleh polisi atas tuduhan hutang yang tak ia ketahui sepenuhnya. “Saya nggak tahu, maka dari itu saya nggak mau tanda tangan BAP (Berita Acara Pemeriksaan),” ujarnya saat menjadi pembicara di diskusi bukunya, di kantor PARA Syndicate, Jumat, 24 November 2023.

Lantas, dua hari kemudian ia menjadi terdakwa dan dipenjara. “Ada banyak kejadian unik di dalam penjara… Sepeti konspirasi bandar narkoba, kejadian ‘sengaja’ salah tangkap, pemangkasan masa hukum meski sudah divonis, dan lainnya, ada di buku ini,” terang Indra.

Perihal proses kreatif, Indra menerangkan penulisan buku “Cipinang Undercover: Lahirnya ‘Conspiracy di Sel Lapas” diilhami oleh proses penulisan buku sebelumnya, “Lady Di”—yang ditulis ketika di lapas Cipinang. “Saya nggak percaya ketika Lady Di disebut dibunuh oleh Buckingham. Kalau ada orang besar dibunuh, pasti pembunuh itu menuduh orang lain… Saya terbiasa membaca buku spionase dan detektif, jadi cara berpikir saya seperti intelijen sam ketika nulis buku ‘Cipinang Undercover’.”

Selain Indra, dalam diskusi bertajuk “Cipinang Undercover: Lahirnya ‘Conspiracy’ di Sel Lapas -Catatan tentang Hukum dan Keadilan” itu hadir pembicara lainnya, yaitu Ari Nurcahyo (Direktur Eksekutif PARA Syndicate), Juliaman Saragih (Ketua dan Pendiri Nation and Character Building Institute/NCBI), Maqdir Ismail (Praktisi Hukum dan Pengacara Profesional), serta Christine Damayanti Hanggi (Penerjemah Film-Film Asing Berbahasa Inggris). Diskusi ini dipandu oleh Virdika Rizky Utama (Peneliti PARA Syndicate).

Ari Nurcahyo dalam sambutannya mengatakan buku “Cipinang Undercover” mencerminkan realitas hukum yang tak kasat mata atau realitas di luas lapas, bagaimana banyak manipulasi seputar lapas. “Di dalam lapas itu mirroring luas lapas,” imbuhnya.

“Buku ini menguak lembaga peradilan kita, yang merupakan tombak-tombak, telah kehilangan kewibawaan,” lanjut Ari. “Dalam konteks hari ini, Ketua KPK jadi tersangka korupsi dan Ketua MK melakukan pelanggaran etika berat. Pilar-pilar penegakkan hukum kehilangan kewibawaan.”

Menurut Ari, persoalan-persoalan itu tak bisa dilepaskan dari konteks politik di negara. “Hari ini berpolitik bukan dalam rangka untuk bernegara melainkan sekadar untuk berkuasa,” tandasnya.

Dalam diskusi, Juliaman Saragih berharap buku “Cipinang Undercover” mampu menggugah publik agar kesadaran mengenai hukum harus menjadi milik bersama. Lebih lanjut, ia menilai persoalan yang dibeberkan dalam buku tersebut masih membayangi hingga sekarang dan ini mengindikasikan “bagaimana kebijakan hukum berlaku di Indonesia.”

Padahal, sebagaimana perintah konstitusi, Indonesia adalah negara hukum, bukan negara berdasarkan kekuasaan. Publik pun mengharapkan hukum yang adil dan beradab. “Tapi di sel lapas, kita bisa lihat ruang gelap penegakkan hukum dan ini harus diungkap ke publik… Ruang gelap ini berbahaya karena kewibawaan tiang-tiang penegakkan hukum atau bukum jadi turun nurun,” kata Juliaman, senada dengan Ari.

Juliaman pun mengingatkan janji presiden petahana Jokowi yang harus dipenuhi, yang tertuang dalam Nawacita Keempat—di mana pemerintah menjanjikan akan memperkuat kehadiran negara dalam reformasi hukum yang bebas korupsi, bermertabat, dan terpercaya. Faktanya, Tim Percepatan Reformasi Hukum memberi sekitar 150 rekomendasi percepatan reformasi hukum baik jangka pendek maupun menengah, namun belum bisa dipastikan kelanjutannya. “Yang jelas, antara janji Nawacita Keempat dan perintah konstitusi Indonesia itu negara berdasarkan hukum, bukan berdasarkan kekuasaan,” pungkasnya.

“Pilar-pilar penegakkan hukum kehilangan kewibawaan… Persoalan-persoalan itu tak bisa dilepaskan dari konteks politik di negara. Hari ini berpolitik bukan dalam rangka untuk bernegara melainkan sekadar untuk berkuasa.”

Maqdir Ismail menambahkan bahwa persoalan di lapas, termasuk “jual beli keadilan”, merupakan hal yang sistemik. Menurutnya, penyebab utama “jual beli keadilan” adalah kewenangan penanganan yang begitu besar berdasarkan undang-undang kepada penyidik, penuntut umum, dan juga hakim. “Mestinya ini yang dibongkar terlebih dahulu. Hukum acara pidana kita yang memberikan kewenangan terlalu besar,” sambungnya.

“Saya ingin mengajak semua kita, ke depan, untuk menjalani proses hukum yang baik mesti ada perubahan aturan mengenai hukum acara pidana. Salah satunya, kewenangan dalam melakukan penahanan ini, harus dikurangi sedemikian rupa,” jelas Maqdir.

Penyebab lainnya, kata dia, “kita ini nggak konsekuen, termasuk dalam restorative justice—yang seharusnya memberi keadilan dan menghormati korban.” Namun, yang terjadi adalah pembatasan penanganan kasus akibat “jual beli keadian”, yang seharusnya tidak dilakukan. “Kita berharap hukum acara ini diperbaiki dan ketentuan yang lain juga harus diperbaiki.”

Christine Damayanti mewanti-wanti kerentanan penegakkan hukum dan peradilan di Indonesia berpotensi disusupi nilai-nilai organisasi rahasia atau “secret society” yang ingin mewujudkan “one world order”.

“Masalah di sistem Indonesia menjadi keuntungan mereka. Sistem hukum dan peradilan yang lemah di indonesia jadi celah untuk masuk. Budaya feodalisme yang masih mengakar juga jadi pintu masuknya. Dari situlah mereka bermain,” ungkap dia. “Mereka akan mencoba menjaring siswa-siswa untuk disekolahkan, juga organisasi sosial, dan sebagainya untuk ditanamkan nilai-nilai mereka.”

Christine berpendapat tantangan ke depannya akan sangat besar, sebab pikiran generasi muda mudah dipengaruhi oleh teknologi, yang dampaknya sulit dimitigasi. “Ini cara baru. Sebelumnya mengandalkan kelompok metafisika, narkoba dan sebagainya,” lanjutnya.

{Tim PARA Syndicate]