Intisari Syndicate Update
Jumat, 26 Januari 2024
Jokowi vs Megawati: Dua Presiden, Dua Rasa Bernegara
Jokowi dan Megawati sama-sama menjadi presiden Indonesia di masa Reformasi. Saat ini Jokowi masih menjadi petahana dan sudah hampir 10 tahun menjabat. Jabatan Jokowi berakhir Oktober 2024 nanti. Sementara, Megawati pernah menjabat dari 2001 sampai 2004.
Sepak terjang kedua sosok itu menarik untuk disoroti. Mereka memiliki relasi istimewa, khususnya dalam politik dan kepartaian. Megawati selaku Ketua Umum PDI Perjuangan memberi jalan bagi Jokowi untuk melenggang ke Pemilihan Presiden 2014 dan 2019. Namun demikian, meski di bawah naungan partai yang sama, perspektif mereka mengenai etika kepemimpinan dan demokrasi jelas berbeda. Perbedaan ini tak lepas dari kesejarahan atau proses mereka bertumbuh, termasuk kematangan psikologis, karier politik, hingga dinamika politik.
Perbedaan dua tokoh itu, salah satunya, tercermin dalam kebijakan-kebijakan selama mereka menjabat. Adapun perbedaan lain yang signifikan di antara keduanya adalah ketika mereka menghadapi tawaran untuk berkuasa, sebagaimana dituturkan oleh Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo dalam acara Syndicate Update bertajuk “Jokowi vs Megawati: Dua Presiden, Dua Rasa Bernegara” di Kantor PARA Syndicate, Jumat, 26 Januari 2024.
“Kedua tokoh itu punya pencapaian masing-masing, tapi sikapnya berbeda ketika menghadapi tawaran kekuasaan; ketika kekuasaan dalam genggaman mereka,” pungkas Ari, seraya menambahkan sikap itu yang mencerminkan kenegarawanan masing-masingnya. Menurutnya, Megawati masih menyadari batas kekuasaan, namun tidak demikian dengan Jokowi.
“Karakter penguasa pada umumnya ingin mengestafetkan kekuasaan. Megawati masih tahu batas dan ia hanya mengestafetkan kekuasaan di ruang partai. Di 2024, bisa saja Megawati mengusung anaknya, Puan Maharani, tapi tak ‘memaksakan’ karena dia masih taat dengan konstitusi,” tuturnya. Adapun Jokowi “mengotak-atik konstitusi” di penghujung masa jabatanya untuk mengestafetkan kekuasaan kepada anaknya, Gibran Rakabuming Raka.
Dalam kesempatan yang sama, akademisi dan sejarawan Prof. Anhar Gonggong mengingatkan bahwa seorang pemimpin harus mampu melampaui dirinya sendiri. Maksudnya, tak terjerumus dalam hasrat pribadi dalam berkuasa dan abai pada tanggung jawabnya.
Prof. Anhar turut mencatat konteks tumbuh setiap pemimpin sebagai individu dan sebagai pejabat selalu berbeda setiap zaman, termasuk pula tantangannya. Ia menjelaskan karakter kepemimpinan Megawati dipengaruhi rezim sebelumnya yang otoriter, Orde Baru. Nama Megawati semakin populer dan dielukan—terutama karena pertalian dengan Soekarno dan imej partai—ketika rezim otoriter menyebabkan krisis di Indonesia.
Sementara itu, Jokowi tumbuh ketika ruang politik Indonesia jauh lebih bebas. Di situasi seperti ini, melihat sikap Jokowi yang “melompati konstitusi dan aturan” untuk melanggengkan kekuasannya, banyak pihak memprediksi dirinya berpotensi mengembalikan rezim otoriter. “Harus diingat, kekuasaan harus diperoleh dari peraturan yang disepakati bersama. Itulah demokrasi,” tandasnya. Ia pun mengingatkan, alih-alih terlena karena capaian presiden, publik harus ingat bahwa hal itu “memanglah tugas dan tanggung jawab presiden. Kalau gagal ya salah, karena rakyat dirugikan.”
“Kedua tokoh itu punya pencapaian masing-masing, tapi sikapnya berbeda ketika menghadapi tawaran kekuasaan; ketika kekuasaan dalam genggaman mereka,” pungkas Ari.
Airlangga Pribadi Kusman, Dosen Universitas Airlangga, menekankan pentingnya pembatasan kekuasaan dan kesadaran mengenai etis. Antara Megawati dan Jokowi, ia melihat bahwa Megawati cenderung menghindari politik dinasti lantaran ia memiliki prinsip dan paham batasan etis. “Megawati punya kesadaran atau etika republik,” sambungnya. Adapun kesadaran ini berangkat dari pengalaman selama Orde Baru.
Jokowi, di lain sisi, pada dasarnya adalah seorang entrepreneur atau pengusaha. “Etika republik tak akan nyambung dengan perspektif seorang penguasa mengenai kekuasaan. Maka dari itu, Jokowi berbeda dengan Megawati,” lanjut Airlangga. Menurutnya, Jokowi cerdik dan memanfaatkan ketidaktahuan publik mengenai konsep republik. Konsep negara republik terbilang baru bagi Indonesia, baru muncul sekitar 1920-an. “Indonesia belum bebas dari pengaruh feodalisme, rakyat jadi seperti ‘kawulo’.”
Airlangga juga menyoroti perubahan kelembagaan yang dibangun dengan semangat demokrasi dan reformasi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “KPK dibuat pada masa Megawati dan lembaga ini independen. Kemudian justru diubah jadi bertanggung jawab ke presiden pada masa Jokowi. Ini kemunduran,” tuturnya.
Adapun Analis Exposit Strategic Arif Susanto berpendapat personalisasi politik merupakan penyakit dalam ruang politik. Pasalnya, saat person atau tokoh menjadi besar, ia akan berpotensi menjadi monster. Maka dari itu, ia mendorong proses depersonalisasi politik dan lebih memerhatikan penguatan kelembagaan politik, termasuk suprastruktur politik dan partai politik.
“Depersonalisasi politik perlu dilakukan supaya masyarakat tidak semata-mata melihat ‘person’ dalam dinamika berpolitik. Bukan memperkuat personal, bukan tindakan person, tapi kelembagaan politik yang harusnya diperkuat,” kata Arif.
Lebih lanjut, Arif juga menekankan pentinya mendelegitimasi kekuasaan Jokowi. Ini karena Jokowi telah merusak demokrasi dan akan menjadi beban serta preseden buruk bagi Indonesia ke depan. “Situasi hari ini Jokowi vs Everybody. Jokowi merusak tatanan negata kita. Dia benalu dalam demokrasi kita, menggerogoti demokrasi. Supaya proses ini tak berlarut-larut dan demokrasi tak semakin babak belur di kemudian hari, maka dibutuhkan delegitimasi kekuasaan Jokowi secara terus-menurus,” paparnya.
Tim PARA Syndicate