Intisari Syndicate Update
Kamis, 30 November 2023

Kampanye Pilpres: Politik Gemoy vs Politik Gagasan

Belakangan, tiga paslon Pilpres mulai mempopulerkan gimiknya. Bahkan ada gimik yang sudah populer sebelum tahapan kampanye dimulai. Paslon nomor urut satu, Anies-Muhaimin, pernah viral karena “slepet” sarung. Kemudian paslon nomor urut dua, Prabowo-Gibran, memviralkan “joget gemoy”. Popularitas joget ini beriringan dengan sosok Prabowo yang mencitrakan dirinya sebagai sosok yang “gemoy” atau menggemaskan. Lalu paslon nomor urut tiga, Ganjar-Mahfud, baru-baru ini memperkenalkan “salam tiga jari” seperti pose salute di film populer The Hunger Games. Adapun yang paling santer di telinga publik yaitu gimik paslon nomor urut dua. Ini menarik, mengingat gimik “gemoy” viral di tengah maraknya protes terhadap kandidasi Gibran, yang dilandasi hukum yang cacat, dan skeptisisme publik terhadap rekam jejak Prabowo.

Patut disayangkan tahapan kampanye dimanfaatkan untuk adu gimik, alih-alih adu gagasan. Padahal periode kampanye yang relatif singkat ini seharusnya dimanfaatkan untuk memberi pemahaman kepada publik tentang visi dan misi atau gagasan Indonesia ke depan. Bertolak dari situasi ini, PARA Syndicate mencoba menggali pemicu dan imbas gimik seperti “joget gemoy” bagi Indonesia, serta bagaimana menyikapinya dalam diskusi bertajuk “Kampanye Pilpres: Politik Gemoy vs Politik Gagasan?” pada Kamis, 30 November 2023, di kantor PARA Syndicate.

Menurut peneliti PARA Syndicate Virdika Rizky Utama, tim kampanye Prabowo-Gibran melihat anak muda—khususnya pemilih pemula—menyukai hal yang lucu atau menggemaskan. Di saat yang sama, mereka dinilai polos, tak kritis, cepat lupa, serta tak paham politik dan belum sadar tujuan mulianya.

“Joget gemoy yang munculnya organik kemudian dikapitalisasi oleh tim kampanye Prabowo-Gibran… Mirisnya, ini menjadi tren dan nggak menawarkan gagasan,” ujar Virdika seraya menambahkan bahwa partai politik (parpol) seharusnya memberi pendidikan politik agar anak muda punya kesadaran kritis, ketimbang hanya mendorong gimik. “Menurut saya, ini masih menjadi PR.”

Virdika mengimbau anak muda untuk tak mewajarkan gimik kampanye, karena pewajaran akan menjadi preseden yang “sangat buruk” bila persona seperti “gemoy” lebih ditonjolkan ketimbang gagasan. “Mengajak anak muda untuk kritis, memilih pemimpin yang punya gagasan, di samping janji dan harapan… Kita cari presiden bukan cari bayi sehat,” pungkasnya.

Senada, Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo menambahkan masyarakat tentunya ingin tahu gagasan setiap paslon. Ia menyayangkan kampanye saat ini lebih menonjolkan gimik daripada gagasan atau “substansi dan esensi”. Di tengah maraknya gimik, ia mengingatkan publik mesti mencermati rekam jejak tiap paslon.

“Misalnya, menarik melihat konstruksi branding Prabowo yang dulunya kaku, sekarang menjadi ‘gemoy’… Kita perlu mencermati paslon mana yang menampilkan profil yang autentik dan mana yang superfisial,” tutur Ari. “Pijakannya adalah rekam jejak. Jangan terjebak dalam gimik karena kita bisa rentan dibohongi.”

Gimik menyulitkan publik membedakan antara fakta dan opini. Bahkan mengindikasikan adanya pendangkalan gagasan. “Ini jangan sampai jadi tren baru, yang berujung pada banalisasi kebohongan atau mengabaikan kebohongan,” tandas Ari.

Gimik menyulitkan publik membedakan antara fakta dan opini. Bahkan mengindikasikan adanya pendangkalan gagasan.

Dalam kesempatan yang sama, penelitian dari Exposit Strategic Arif Susanto membeberkan sejumlah hal yang menjadi pemicu maraknya gimik politik, yaitu budaya atau kondisi politik, kondisi sosial dan ekonomi, setting kelembagaan , hingga “random events” seperti paradoksal karakter generasi Z.

“Saat ini tiap paslon masih ‘tersandera’ karena masih menyokong petahana. Nggak heran kalau gagasan atau visi dan misi ketiga paslon hampir sama yaitu mau melanjutkan petahana sekalipun mendukung perubahan, dan yang membedakan ketiganya hanyalah nomor urut,” kata Arif dan menambahkan tak heran bila gimik yang ditonjolkan. Di saat yang sama, distribusi ekonomi timpang dan masyarakat miskin dibuat ketergantungan pada petahana, sehingga paslon yang didukung petahana kemungkinan besar akan dipilih mereka. Lalu dalam hal setting kelembagaan, saat ini terjadi penumpukan kekuasaan negara sehingga petahana semakin “excessive” atau berlebihan. Kemudian anak muda, generasi Z dan milenial, yang jadi pemilih dominan dan “digital native” jadi target kampanye gimik.

Arif pun menyinggung bahwa dinamika menjelang pemilu di Indonesia mirip dengan pemilu di Filipina, di mana anak koruptor Ferdinand Marcos, Bongbong, memanfaatkan situasi—mulai dari budaya politik, kondisi sosial ekonomi, pemanfaatan platform media sosial, hingga karakter generasi Z yang terputus dari pengalaman masa lalu. Berbagai faktor ini memungkinkan Bonbong menang pemilu. “Supaya ini yang di Filipina nggak terjadi di Filipina, generasi Z dan milenial yang jadi pemilih dominan diharapkan menjadi game changer,” ujarnya.

Seperti Arif, Direktur Lingkar Madani (LIMA) Indonesia Ray Rangkuti mengakui bahwa tak ada perbedaan visi dan misi berarti di antara ketigas paslon. Maka dari itu, ia mengajukan setidaknya akan ada lima hal yang akan jadi pembeda. Antara lain perihal sikap paslon terhadap keberlanjutan proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, komitmen terhadap reformasi institusi polisi dan reformasi UU ITE. “Reformasi ini mau dilakukan atau tidak?” ujarnya.

Lalu UU KPK mau direvisi atau dipertahankan. Terakhir, setuju atau tidak terhadap UU Omnibus Law. “Jadi, tanyakan yang mikro untuk menguji yang makro… Mending semua paslon mengoptimalkan waktu kampanye untuk adu gagasan,” pungkasnya.

Lebih jauh, Ray mempertanyakan komitmen Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam mengawasi proses kepemiluan. Ia menyinggung deklarasi organisasi desa terhadap paslon tertentu, yang menurutnya sarat akan pelanggaran netralitas. Ia juga mengatakan tindakan relawan bagi-bagi makanan atau susu saat kampanye sejatinya termasuk politik uang bila. “Bawaslu itu bagaimana perannya? Mengawasi pemilu, kampanye, itu ‘kan tugas Bawaslu. Ini ditangani atau nggak, wallahualam.” 

[Tim PARA Syndicate]