Intisari Diskusi
Rabu, 4 Januari 2023

Catatan Kritis Demokrasi Awal Tahun: Proyeksi Politik 2023, Membaca Arah Pemilu 2024: Terbuka atau Tertutup?

LIMA Indonesia - Exposit Strategic - Algoritma Research & Consulting - Visi Nusantara - TePI Indonesia - PARA Syndicate

Secara umum, sistem proporsional tertutup hanya memberi opsi kepada pemilih untuk memilih logo partai politik (parpol) dan nomor urut di surat suara. Selanjutnya, parpol yang menentukan calon legislatif (caleg) yang akan duduk di parlemen. Banyak yang menganggap sistem ini kurang demokratis. Pasalnya, pemilih tak bisa memilih langsung caleg lantaran caleg pilihan parpol belum tentu mewakili pemilih.

Sebaliknya, sistem proporsional terbuka dinilai lebih demokratis. Ini karena pemilih juga bisa memilih daftar nama caleg yang tercantum di surat suara, selain logo parpol dan nomor urut.

Dalam kesejarahan Indonesia, sistem proporsional tertutup pernah diterapkan saat Orde Lama, selama Orde Baru, hingga Pemilu 1999. Barulah sejak 2004, sistem yang diterapkan diganti menjadi proporsional terbuka dan ini berlanjut hingga Pemilu 2019.

Menjelang Pemilu 2024, wacana penerapan kembali sistem proporsional tertutup mengemuka sejak tahun lalu. Kemudian beberapa waktu lalu, diberitakan bahwa ada pihak yang menggugat uji materi Undang-Undang (UU) Pemilu kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menggugat pasal sistem proporsional Pemilu dan memohon agar Pemilu menerapkan sistem proporsional tertutup.

Wacana itu semakin panas, terutama setelah Ketua KPU Hasyim Asy’ari mengatakan kemungkinan penerapan sistem proporsional tertutup. Imbas dari pernyataan itu, Ketua KPU dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada Selasa (3/1/23) lalu. Pelapor menilai Ketua KPU telah melanggar kode etik penyelenggaraan pemilu.

Sejumlah pengamat juga mengatakan bahwa pernyataan Ketua KPU itu tak etis. Sebab KPU, selaku lembaga penanggung jawab penyelenggara pemilu, seharusnya bersikap independen. KPU juga diminta untuk fokus melanjutkan tahapan pemilu dengan baik, alih-alih terseret dalam wacana perubahan sistem proporsional.

Perihal perubahan sistem proporsional pada Pemilu 2024 nanti, sebaiknya dikesampingkan terlebih dahulu. Hal ini mengingat tahapan pemilu sedang berlangsung dan waktu hajatannya tinggal setahun lagi. Jika sistem diubah, maka semua yang terlibat dalam proses pemilu, mulai dari peserta pemilu hingga pemilih, ikut berubah dan kemungkinan besar harus memulai proses dari nol.

Sistem mana pun memungkinkan terjadinya “money politic”. Hanya saja, jika menerapkan sistem proporsional tertutup, ruang “money politic” cenderung lebih sempit di taraf internal parpol.

Ditambah lagi, pemerintah saat ini sedang menghadapi berbagai tantangan yang sifatnya krusial, seperti krisis ekonomi hingga bencana alam. Bahkan diprediksi akan pada perpecahan antarfaksi yang memungkinkan pemerintah jadi tak kondusif—sebagai implikasi dari persiapan Pemilu 2024. Lantas pemerintah sendiri juga harus melakukan konsolidasi internal agar berbagai tantangan itu bisa dihadapi.

Berdasarkan berbagai pertimbangan itu, MK diharapkan tak mengabulkan gugatan terkait UU Pemilu. Sehingga pemilu tetap menerapkan sistem proposional terbuka di 2024 nanti.

Meski begitu, tak menutup kemungkinan perubahan sistem pemilu bakal jadi diskursus setelah Pemilu 2024 dan pada gilirannya, akan mengubah sistem pemilu yang berlaku sejak 2004.

Para pengamat mencatat bahwa baik sistem proporsional terbuka maupun tertutup punya kelebihan dan kekurangan. Sebagai contoh, perihal “money politic”. Sistem mana pun memungkinkan terjadinya “money politic”. Hanya saja, jika menerapkan sistem proporsional tertutup, ruang “money politic” cenderung lebih sempit di taraf internal parpol. Ini tak seluas ketika menerapkan sistem proporsional terbuka, di mana caleg-caleg bersafari ke masyarakat. Selain itu, masih ada lagi berbagai implikasi positif dan negatif dari masing-masing sistem.

Adapun implikasi keduanya bukan terletak pada sistem, melainkan pada aspek lain yang memengaruhinya. Termasuk ketimpangan ekonomi, kaderisasi dan kinerja parpol, hingga pengawasan terhadap parpol maupun proses tahapan pemilu. Jadi, sistem pemilu apa pun yang diterapkan, faktor-faktor seperti inilah yang harus diperhatikan dan dievaluasi.

Indonesia sendiri memang harus mengevaluasi situasi politiknya selama ini. Tujuannya untuk mengetahui apa yang dibutuhkan negara hingga masyarakat, termasuk sistem pemilu seperti apa yang ideal bagi Indonesia. Misalnya dengan mengevaluasi dan mempertimbangkan keterbelahan politik yang kerap marak. Situasi ini harus diantisipasi oleh berbagai pihak untuk pencegahan.

Selain itu, harus dipastikan pula sistem pemilu seperti apa yang cocok dengan kultur dan iklim demokrasi Indonesia. Barulah kemudian menentukan sistem pemilu mana yang akan diterapkan untuk pemilu. Apa pun pilihan sistem pemilunya, yang utama adalah tujuan berbangsa dan bernegara tercapai, bukan tujuan parpol.

[Tim PARASyndicate]