Intisari Diskusi
Jumat, 3 November 2023

Mempertaruhkan Legitimasi Pemilu: Anak Presiden Cawapres, Mungkinkah Presiden Netral?

Esok harinya, presiden juga memberi imbauan yang sama kepada aparatur sipil negara hingga TNI-Polri saat kunjungan kerja di Gianyar, Bali.

Meski begitu, belakangan publik khawatir presiden melakukan intervensi atau “mengondisikan” situasi politik untuk memuluskan langkah kandidat bacapres tertentu. Apalagi mengingat anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi bakal calon wakil presiden (bacawapres) Prabowo. Selain itu, beberapa media massa juga melaporkan bahwa sejumlah anggota kabinet yang merangkap sebagai relawan turut melakukan konsolidasi massa untuk memenangkan pasangan bakal capres-cawapres tertentu.

Berbagai situasi itu, pada gilirannya, membuat publik menyangsikan imbauan dan komitmen presiden dalam menjunjung netralitas selama proses pemilu. Bukan cuma itu, kesangsian ini juga berpotensi mendelegitimasi hasil pemilu. Berangkat dari dinamika ini, PARA Syndicate menggelar diskusi mengenai netralitas presiden dan implikasinya pada legitimasi pemilu pada Jumat, 3 November 2023, di kantor PARA Syndicate, Jakarta Selatan. Tajuk yang diangkat yaitu “Mempertaruhkan Legitimasi Pemilu: Anak Presiden Cawapres, Mungkinkah Presiden Netral?”.

Empat narasumber turut diundang dalam diskusi, yakni Direktur Eksekutif ALGORITMA Research & Consulting Aditya Perdana, Peneliti Pusat Riset Politik BRIN Ridho Imawan Hanafi, Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo, dan Peneliti PARA Syndicate Virdika Rizky Utama.

Ari Nurcahyo tak memungkuri bila publik mempersepsikan presiden tak netral. Pasalnya, pernyataan dan tindakan presiden tampak kontradiktif. Setelah mengimbau netralitas, beberapa hari kemudian ada pencabutan baliho Ganjar dan wakilnya, Mahfud MD, ketika presiden berkunjung ke Bali, Selasa (31/10).

Menjaga estetika menjadi alasan pencabutan baliho ini, dan menurut laporan media massa, baliho telah dipasang kembali. Namun demikian, Ari menilai, “Pencabutan baliho ini menunjukkan ketidaknetralan… saat kunjungan kerja di Sumatera Barat, baliho Prabowo-Gibran justru dibiarkan… Kemudian, waktu kunjungan ke Bali untuk tugas negara, juga digunakan untuk bertemu relawan.”

Sebelum itu, rentetan peristiwa seperti Mahkamah Konstitusi (MK) yang memuluskan Gibran melenggang ke bursa Pilpres 2024, keterlibatan ASN dalam konsolidasi relawan, hingga lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu yang perannya saat ini tak signifikan menambah kesangsian publik terhadap netralitas presiden.

“Persepsi hari ini, presiden tak mungkin netral ketika anaknya menjadi cawapres… Tentang penegasan netralitas, mohon maaf, jangan sampai jadi omong kosong. Risikonya, kepercayaan publik terhadap pemilu akan menurun. Pemilu tampak tak fair, tak adil. Legitimasi pemilu bagaimana? Demokrasi dipertaruhkan,” tutur Ari. Berangkat dari hal ini, ia menekankan, “Masyarakat sipil perlu berpartisipasi untuk memantau semua proses pemilu supaya berlangsung adil dan tetap berintegritas.”

Aditya Perdana menyoroti isu “cawe-cawe” presiden yang berembus beberapa waktu lalu. Menurut hasil survei lembaganya, ada responden yang setuju dan tak setuju bila presiden “cawe-cawe” mendukung kandidat tertentu. Didapati bahwa ketika Presiden Jokowi menyebut nama capres-cawapres yang didukungnya, sekitar 20 persen responden mengaku tidak akan ikut pilihan Presiden Jokowi.

“Jadi, tidak serta merta ketika Jokowi decide, pemilih ikut juga,” sambungnya. “Mereka merasa punya independensi untuk memilih; pilihan capres-cawapres tidak bergantung pada pilihan presiden petahana.”

Terkait netralitas, kata Aditya, petahana pasti akan melakukan berbagai cara untuk mengoptimalkan penggunaan instrumen negara demi kemenangan dalam kontestasi dan mempertahankan pengaruhnya. “Nanti Jokowi tak lagi berkuasa, tapi anaknya masuk ke kontestasi Pilpres… Jadi, nggak mungkin netral,” ujarnya.

Aditya turut mengingatkan bahwa sejatinya Pemilu 2024 bukan hanya memilih presiden, melainkan juga memilih anggota legislatif. Menurutnya, pemilih “garis keras” partai politik (parpol) tertentu—seperti PDI-P—akan kebingungan atau tidak sreg bila kader berpengaruh seperti Presiden Jokowi bersikap “miring sana-sini” dan memanfaatkan instrumen negara dalam mendukung kandidat tertentu. Pada gilirannya, ceruk suara parpol akan kena imbasnya; berpotensi menurun.

Rentetan peristiwa seperti Mahkamah Konstitusi (MK) yang memuluskan Gibran melenggang ke bursa Pilpres 2024, keterlibatan ASN dalam konsolidasi relawan, hingga lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu yang perannya saat ini tak signifikan menambah kesangsian publik terhadap netralitas presiden.

Dalam kesempatan yang sama, Ridho Imawan Hanafi menekankan bahwa kualitas penyelenggaraan pemilu sangat penting. Sebab legitimasi pemilu mempengaruhi kepercayan warga negara terhadap demokrasi. Adapun demokrasi di Indonesia, sebagaimana dikutipnya dari berbagai literatur, tengah mengalami penurunan. “Ini akan jadi tantanganan di Pemilu 2024,” imbuhnya sembari menyoroti anak presiden jadi bacawapres.

Bertolak dari itu, lanjut Ridho, institusi penyelenggara pemilu harus independen, mulai dari pendaftaran sampai akhir audit pemilu. Pun harus apolitis atau tak memihak. Institusi ini juga harus bekerja sesuai prinsip indepensi, imparsialitas, transparansi, profesionalitas, dan lain sebagainya. “Ini penting untuk menjaga legitimasi pemilu sehingga demokrasi terjaga,” tandasnya.

Ridho mengatakan, “bila presiden mengaku netral dan tak menggunakan instrumen-instrumen negara, maka penting untuk dibuktikan.” Pasalnya, berdasarkan pantauan dan data yang ditemuinya, tindakan presiden justru mengindikasikan ketidaknetralan—mulai dari pengakuan presiden memiliki data inteligen mengenai parpol hingga merestui anaknya menjadi cawapres.

Melihat dinamika politik hari ini, Ridho mengingatkan, “Tantangan bagi masyarakat sipil adalah mengawasi proses penyelenggaraan pemilu yang bersih. Karena hampir semua kandidat yang berkontestasi melibatkan resources negara.”

Lebih lanjut, Virdika Rizky Utama mengatakan demokrasi di Indonesia akan mengalami setback bila ASN hingga TNI-Polri tak netral. “Kita jadi balik ke Orde Baru, dan ini jadi pekerjaan berat buat generasi muda; generasi kami,” pungkasnya, dan ia melanjutkan bahwa penegakan demokrasi seperti mitologi Sisifus, di mana demokrasi seharusnya diperjuangkan agar tak jatuh lebih rendah dari titik awal.

Adapun anak muda, kata Virdi, mempertanyakan integritas pemilu. Meski presiden menyatakan netral, banyak anak muda yang menafsirkan tindakan presiden secara sebaliknya. Mereka juga mempertanyakan integritas pemilu. “Mereka melihat Presiden Jokowi ini nggak netral,” ujarnya. “Sentimen anak muda terhadap putusan MK sampai hari ini, terutama dari kalangan urban middle class generasi Z dan milenial, sekitar 70 persen negatif. Paling tidak, di medsos.”

Virdika turut menyinggung bahwa ada konteks geopolitik yang memengaruhi konstelasi perpolitikan di Indonesia hari ini; skema geopolitik yang serupa dengan yang terjadi di Filipina. Duet Prabowo-Gibran seperti putra diktator Ferdinand Marcos, Presiden Bongbong Marcos, yang didampingi oleh putri dari mantan Presiden Rodrigo Duterte, Sara Duterte.

“Selama ini, Jokowi diidentikkan dengan Cina dan kemungkinan nanti bergeser ke Prabowo yang kampanyenya mirip dengan Bongbong dan Sara Duterte,” ujarnya. “Kemarin dekat dengan Cina, kemudian sekarang dekat dengan Prabowo old friend Amerika.”

{Tim PARA Syndicate]