Intisari Syndicate Update
Kamis, 18 Januari 2024

Menimbang Pemakzulan dan Siapa Malin Kundang

Belakangan, isu pemakzulan Presiden Jokowi kian santer dibahas. Pada Selasa (9/1) lalu, koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat mengeluhkan potensi kecurangan Pemilu 2024, bahkan mengusulkan pemakzulan presiden kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Hal ini kemudian ramai ditanggapi, menuai pro dan kontra.

PARA Syndicate menelisik musabab munculnya dorongan pemakzulan presiden, peluang terjadinya pemakzulan serta imbasnya melalui diskusi “Menimbang Pemakzulan dan Siapa Malin Kundang”. Sebagaimana judul, diskusi ini juga menakar keterkaitan isu pemakzulan dengan imbauan calon presiden Prabowo pada akhir pekan (13/1) lalu. Capres—yang diduga menjadi jagoan presiden petahana—ini mengimbau untuk tak menjadi “Malin Kundang” yang lupa bahkan durhaka kepada ibunya; pun tak membalas kebaikan dengan pengkhianatan.

Diskusi ini dihadiri oleh Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo, Analis Exposit Strategic Arif Susanto, dan Direktur Lingkar Madani (LIMA) Indonesia Ray Rangkuti.

Ari Nurcahyo mengingatkan bahwa kisah “Malin Kundang” berbicara tentang pengkhianatan. Dalam konteks Prabowo, lanjutnya, penyebutan “Malin Kundang” tak bisa dilepaskan dari emosi Prabowo setelah menghadapi rivalnya, Anies Baswedan, dalam debat capres pada Minggu (7/1) lalu. Prabowo tampaknya merujuk pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, di mana Anies didukung oleh partai yang diketuai Prabowo, Gerindra. Meski begitu, “Malin Kundang” juga bisa diasosiasikan kepada Presiden Jokowi yang melakukan “cawe-cawe” dalam proses tahapan Pemilu 2024 dan tengah mengalami friksi dengan rahim politiknya, PDI Perjuangan.

Siapa pun figur yang dituduh, Ari menekankan, “’Malin Kundang’ dalam demokrasi hari ini adalah para elite dan politisi yang mengkhianati rakyat, yang hanya mengejar kepentingannya dan melupakan rakyat. Mereka yang menjadikan demokrasi merosot.”

Adapun mengenai pemakzulan, Ari mengakui, secara konstitusional hal itu tak mudah diwujudkan lantaran membutuhkan proses dan waktu panjang sebagaimana amanat Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Namun demikian, ia menegaskan, kemunculan isu pemakzulan termasuk bagian dari kontrol demokrasi yang sedang kritis, di mana “presiden melakukan cawe-cawe terlalu jauh, termasuk dalam tubuh TNI-Polri, ASN, dan partai politik.”

Ari mengatakan pemakzulan harus dibaca sebagai protes keras publik terhadap situasi politik dan pemerintah. Publik berupaya untuk memastikan pemilu tetap luber dan jurdil, berintegritas, serta tanpa kecurangan. Berangkat dari situasi itu, lanjutnya, “saya mau menggeser pemahaman pemakzulan secara konstitusional menjadi pemakzulan secara elektoral. Jangan pilih partai atau sosok yang terindikasi seperti ‘Malin Kundang’… Jadi, penentuannya nanti di TPS, di 14 Februari nanti. Ini pengadilan. Suara rakyat, suara tuhan.”

Siapa pun figur yang dituduh, Ari menekankan, “'Malin Kundang' dalam demokrasi hari ini adalah para elite dan politisi yang mengkhianati rakyat, yang hanya mengejar kepentingannya dan melupakan rakyat. Mereka yang menjadikan demokrasi merosot.”

Senada, Arif Susanto berpendapat pemakzulan presiden itu tak realistis secara politik. Pasalnya, sebagaimana disinggung Ari, proses pemakzulan memakan waktu lama, sementara jabatan Jokowi akan berakhir pada Oktober 2024.

Kemudian, sejauh ini presiden belum terbukti melakukan pelanggaran secara konstitusional sebagaimana tercantum dalam Pasal 7A UUD 1945. Pelanggaran yang dimaksud yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat, perbuatan tercela, tak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.

Selain itu, usul pemakzulan berpotensi tak mendapat dukungan dari DPR, mengingat ada banyak fraksi di DPR yang masih mendukung pemerintahan Presiden Jokowi. Apabila proses pemakzulan bergulir, tak menutup kemungkinan terjadi kebuntuan dan konflik politik berlarut. “Dan ini akan menjadi preseden buruk bagi ketenagakerjaan Indonesia,” imbuh Arif.

Selanjutnya, ia mengingatkan bahwa sebagian besar kesalahan politik yang merugikan rakyat juga dilakukan oleh DPR dan pemerintah, bukan semata-mata Jokowi. Ia mencontohkan revisi UU KPK diinisiasi DPR serta UU Ciptaker, UU IKN, dan KUHP diinisiasi pemerintah. “Ini kesalahan elit rame-rame, masalahnya berlangsung kolektif,” tambahnya.

“Maka dari itu, biarkan pergantian kekuasaan terjadi secara smooth,” kata Arif. Meski begitu, Ia berpendapat delegitimasi kekuasaaan Jokowi masih bisa dilakukan dan “menjadi tugas penting untuk kita semua”.

“Jangan biarkan Jokowi selesai dari jabatannya dengan tenang. Jokowi menyelesaikan jabatannya tidak secara baik-baik. Dia mewariskan banyak masalah kepada kita semua dan generasi selanjutnya,” pungkasnya. “Masyarakat harus mewariskan memori kolektif bahwa “Jokowi bersama pendukungnya bersama-sama merusak tata negara kita.”

Sama seperti Ari dan Arif, Ray Rangkuti juga tak memungkiri pemakzulan secara prosedural akan sulit karena memakan waktu lama, terutama sebelum ppemilu. Apalagi pemakzulan diyakini akan menurunkan elektoral partai. Namun, kata dia, lain ceritanya bila pemakzulan terjadi setelah pemilu. “Bisa jadi lebih cepat dari yang diduga,” tambahnya.

Ray memaparkan, setidaknya, ada lima hal yang memungkinkan pemakzulan setelah pemilu berakhir. Pertama, ada potensi banyaknya anggota kabinet yang mundur karena kecewa dan tak nyaman dengan Jokowi. Kedua, isu pemilu dicurangi semakin kuat sehingga hasil pemilu nanti akan diragukan. Utamanya karena Jokowi mendukung kandidat pasangan capres-cawapres tertentu.

Selanjutnya, oposisi Jokowi akan semakin kuat setelah pemilu. “Opisis nggak lagi malu-malu. Setidaknya (pemakzulan) akan digalang oleh lima sampai enam partai, termasuk kemungkinan PDIP, PPP, PKB, PKS, dan Nasdem.”

Adapun gerakan mahasiswa, juga rakyat dan elit politik, saat ini tampak semakin besar, lanjut Ray. Ia melihat sudah ada banyak yang menolak politik dinasti dan mereka tak membiarkan pemilu berjalan tidak fair.

Terakhir, kekuatan presiden petahan setelah pemilu nanti akan goyah. “Ini karena di antara pemenang pemilu, mereka sibuk mengenai hal bagi-bagi kekuasaan… bahkan bisa gontok-gontokan… Jadi, faktor kelima hal tadi akan memicu pemakzulan setelah pemilu.”

Tim PARA Syndicate