Intisari Diskusi Syndicate Forum
Jumat, 12 Januari 2024

Merahnya Ajaran Bung Karno: Narasi Pembebasan Ala Indonesia | Catatan Tentang Tantangan Masa Depan Demokrasi Indonesia

PARA Syndicate membedah dan mendiskusikan buku “Merahnya Ajaran Bung Karno: Narasi Pembebasan Ala Indonesia” bersama sang penulis, Airlangga Pribadi Kusman, di kantor PARA Syndicate, Jakarta Selatan, Jumat (12/1/2023). Diskusi yang dibalut dengan tajuk “Catatan Tentang Tantangan Masa Depan Demokrasi Indonesia” ini merefleksikan sekaligus memastikan relevansi gagasan Bung Karno atau Soekarno dengan konteks terkini dan mendatang.

Airlangga ditemani narasumber lainnya yaitu Virdika Rizky Utama (Peneliti PARA Syndicate), Baskara T. Wardaya (Pemerhati Sejarah Indonesia), dan Irine Hiraswari Gayatri (Peneliti Pusat Riset Politik BRIN). Adapun diskusi dipandu oleh Ari Nurcahyo (Direktur Eksekutif PARA Syndicate).

Baskara T. Wardaya, yang sering disapa Romo Bas, menjelaskan bahwa gagasan Soekarno berangkat dari realitas di Asia Tenggara yang memprihatinkan, di mana sejumlah bangsa masih dijajah. Soekarno—yang terinspirasi dari tokoh-tokoh berpengaruh seperti Mahatma Gandhi, Engels, hingga Marx—kemudian membaca realitas tersebut dan lahirlah gagasan baru yaitu marhaenisme.

Marhaenisme muncul dari pengalaman Soekarno bertemu orang bernama Marhaen, orang kecil yang punya alat produksi tapi tetap miskin atau tertindas. Musuh dari orang-orang seperti Marhaen adalah feodalisme, kolonialisme, dan imperialisme. “Soekarno tidak copy paste teori, tapi mengolahnya berdasarkan realitas di Indonesia. Gagasannya lebih kontekstual dengan Indonesia, bahkan relevan dengan hari ini,” lanjutnya.

Romo Bas turut menyinggung sistem Demokrasi Terpimpin (1959-1965) yang dianggap sebagai periode terburuk pemerintahan Soekarno, kendati sejatinya sistem ini tak bisa dilepaskan dari marhaenisme. Menurutnya, sistem yang diterapkan berdasarkan penerbitan Dekrit Presiden 1959 itu untuk menyelamatkan bangsa, di mana ada tantangan global yang memaksa itu. “Sistem ini bukan untuk kekuasaan, kepentingan keluarga maupun pribadi, melainkan demi Indonesia dan rakyat. Di sini (buku Airlangga) dijelaskan bahwa Demokrasi Terpimpin itu tak datang tiba-tiba,” katanya.

Mengamini Romo Bas, Airlangga menambahkan gagasan Soekarno berangkat dari perspektif teori kritis mengenai nasib rakyat di Indonesia, yang dieksploitasi dan ditindas dalam struktur feodalisme, kolonialisme, dan imperialisme. Menurutnya, kondisi tersebut bukan semata-mata karena dijajah oleh Belanda, “melainkan problem struktural.”

Airlangga melanjutkan, satu-satunya cara melawan problem struktural itu adalah dengan persatuan Indonesia. “Semua elemen bersatu untuk revolusi. Persatuan orang lemah, melalui marhaenisme, adalah jalan untuk manusia merdeka,” tandasnya, seraya mendorong agar Indonesia kembali kepada gagasan pendiri republik guna memahami masalah sosial, ekonomi, dan politik terkini dengan kacamata marhaenisme—termasuk mengenai ketimpangan sosial.

“Soekarno tidak copy paste teori, tapi mengolahnya berdasarkan realitas di Indonesia. Gagasannya lebih kontekstual dengan Indonesia, bahkan relevan dengan hari ini,” lanjut Romo Baskara.

Virdika juga berpendapat marhaenisme masih relevan hingga saat ini, termasuk bagi kalangan anak muda—khususnya yang bekerja keras namun bernasib tetap, juga tak menyadari tengah mengalami penghisaban. Oleh karena itu, lanjut dia, seharusnya Indonesia bisa me-“reverse” yang digagas maupun dilakukan Soekarno sebagai upaya untuk memahami masalah terkini.

Dalam konteks hubungan politik luar negeri terkini, Irine mengatakan, ajaran Soekarno memungkinkan Indonesia bersikap lebih proaktif untuk melindungi warga negara internasional, untuk memfasilitasi diaspora jika ingin berkontribusi pada perdamaian dan ketertiban dunia, sekaligus dengan cara yang lebih inovatif. “Jadi, tidak sekadar hadir, tapi ikut berpartisipasi aktif,” lanjutnya.

Dari sisi diplomasi, Indonesia punya modal untuk berpolitik luar negeri secara asertif dan bermakna. “Ini sudah disampaikan oleh Soekarno. Dulu ada polarisasi tajam. Sekarang, meski ada negara besar, justru middle power yang punya peran yang lebih besar. Indonesia mestinya berperan di sini,” lanjut Irene.

Namun demikian, ada indikasi pemerintah maupun rakyat Indonesia “berjarak” dengan ajaran Soekarno. Airlangga menyayangkan Soekarno semata-mata dipersepsikan atau dikagumi sebagai sosok mistikal yang mampu mempersuasi dan memanipulasi rakyat, tanpa melihat kekuatan gagasannya. Sejak masa Soeharto, ajaran-ajaran Soekarno yang “dimampatkan” dalam Pancasila dan menyangkut perjuangan marhaen, dipersempit ke dalam moralitas saja.

Sementara, Virdika merasa ajaran Soekarno seolah bukan milik seluruh rakyat Indonesia. Pasalnya, ajaran ini selalu diasosiasikan dengan PDI Perjuangan dan hanya diklaim ketika tahun politik. Tak heran, kata dia, bila orang muda cenderung enggan bahkan tak mau mempelajari ajaran Soekarno. Di tengah pengasosiasian ini, ia menyayangkan PDI Perjuangan tak bisa merekonstruksi atau memperbaiki catatan sejarah nasional, misalnya, tentang hubungan Soekarno dan komunisme di tahun 1965. “Ada banyak informasi yang kosong soal sejarah, soal ajaran Sukarno,” sambungnya.

Ditambah lagi, kata Virdi, orang yang disebut kader terbaik PDI Perjuangan saat ini, yaitu Presiden Joko Widodo, justru menyimpang dari ajaran Soekarno; marhenis palsu yang tak berjuang bersama rakyat; yang sekadar mengakomodasi kepentingan oligarki dan keluarganya; yang menjadikan anak muda dan anaknya sebagai token peraih ceruk suara menjelang pemilihan presiden. “Jadi, semangat marhaenisme justru tercederai,” imbuhnya.

Adapun Airlangga menekankan, “Bagi Sukarno, tidak ada tempat di politik untuk kepentingan keluarga, apalagi dinasti politik. Pemimpin yang bertentangan, yang meletakan kepentingan keluarga atau koncoisme, di luar kepentingan publik, maka bukan menjalankan ajaran Soekarno.” Romo Bas juga mendorong agar “marhaen dan rakyat kembali menjadi pemilik negeri ini, bukan para oligarki, politisi, dan para pendukung kandidat presiden serta wakilnya.”

Irene menambahkan, ke depannya, pembuat kebijakan dituntut untuk memiliki kejernihan dalam berpikir. Saat mendapat data, maka harus dicermati dan diolah sekaligus butuh pijakan ideologi dan daya refleksi yang kuat sehingga mencegah rakyat terseret masalah akibat kesalahan pengambilan kebijakan.

Lebih lanjut, kata Irene, kunci membumikan gagasan Soekarno yaitu rekontekstualisasi sehingga bisa diartikulasikan ke dalam kebijakan hari ini. “Justru aktualisasinya lebih relevan dengan saat ini daripada di masa Soekarno sendiri. Jadi, ajaran Soekarno semestinya nggak dogmatis, tapi ide-ide Soekarno itu bisa direkontestualisasikan sebagai bagian dari imajinasi masa depan yang mencerminkan, misalnya, hard and soft power di dalam dan luar negeri,” tuturnya.

Tim PARA Syndicate