Orasi Kebangsaan
Menyambut Pemilu 2024
Jumat, 1 Februari 2024

Pemilu Berintegritas dan Bermartabat: Etika Demokrasi dan Politik Berkebudayaan

Kurang dari dua minggu, Pemilihan Umum (Pemilu) dihelat. Masyarakat Indonesia akan memilih perwakilan rakyat, perwakilan daerah, hingga presiden baru. Namun, dalam prosesnya, ada masalah serius yang tak bisa diabaikan: presiden “menabrak” konstitusi atau aturan untuk melanggengkan status quo. Ia mengondisikan aturan agar anaknya bisa melenggang ke kontestasi pemilihan presiden sebagai calon wakil presiden. Lantas wajar bila banyak yang khawatir Pemilu dicurangi. Apalagi presiden bilang dirinya boleh berpihak pada pasangan calon (paslon) tertentu dan berkampanye.

Adapun yang dilakukan presiden akan menjadi preseden buruk bagi demokrasi Indonesia ke depan. Selain akan dijadikan pembenaran atas “tabrakan” lain yang dilakukan lembaga atau aktor di bawah presiden, masalah yang berkaitan dengan “tabrakan” itu juga akan diwariskan ke generasi yang akan datang.

Berangkat dari kekhawatiran itu, PARA Syndicate menggelar orasi kebangsaan bertajuk “Pemilu Beintegritas dan Bermartabat: Etika Demokrasi dan Politik Berkebudayaan”. Acara ini digelar pada Jumat, 1 Februari 2024, di Kantor PARA Syndicate, Jakarta Selatan. Ada tiga tokoh bangsa yang berorasi yaitu Prof. Sulistyowati Irianto (Guru Besar Fakultas Hukum UI), Prof. Dr. FX Mudji Sutrisno, SJ (Rohaniwan dan Budayawan), dan Dr. Mohamad Sobary (Budayawan dan Kolumnis).

Di muka acara, Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo memberi sambutan. Ia sejatinya berharap Pemilu 2024 berintegritas dan bermartabat, di mana Pemilu digelar secara langsung, umum, bebas, jujur, dan adil. Namun, yang terjadi saat ini adalah kedaruratan dalam politik dan demokrasi yang mengancam legitimasi Pemilu. Presiden kini tanpa malu berpihak kepada paslon tertentu dan berkampanye, bahkan melakukan instrumentasi aparatur negara hingga partai politik. Lembaga konstitusi juga tebukti melakukan pelanggaran etika berat.

Menurut Ari, Pemilu 2024 menjadi “yang paling brutal” dalam sejarah Indonesia. Ia menegaskan Pemilu nanti bukan sekadar tentang menang atau kalah, melainkan menyangkut pilihan moral dalam berbangsa. “Hukum dan konstitusi sudah digunakan untuk kepentingan kekuasaan. Apakah orang-orang sudah kehilangan kompas moral; atau mungkin kepentingan politik lebih besar daripada kompas moral sehingga orang-orang mendukung upaya-upaya yang merusak demokrasi ini?” sambungnya.

Selanjutnya, Prof. Sulistyowati mengawali orasi. Ia bertutur masalah utama Pemilu 2024 ialah netralitas palsu dan kecurangan yang ditampakkan oleh penyelenggara negara. Ia melanjutkan bahwa pemerintah jelas memihak paslon tertentu, menjalankan politik nepotisme, melanggar hukum tanpa rasa malu, dan tak punya keadaban publik. Situasi demikian membuat publik cemas dan kehilangan kepercayaan kepada pemerintah.

Di lain sisi, kekuatan oposisi politik sangat lemah. Kendatipun ada gerakan masyarakat sipil yang cukup beragam, para aktivis dan pemantau pemilu, serta mahasiswa yang sesekali bergerak, mayoritas masyarakat diam. “Kekuatan ini kalah dengan gegap gempita serbuan kesadaran palsu dan politik uang,” tandasnya.

Prof. Sulistyowati menegaskan, “sudah seharusnya kita mengembalikan demokrasi, kedaulatan rakyat melalui penguatan budaya masyarakat dan komunitas.” Ia menambahkan Indonesia harus dipulihkan melalui jalan kebudayaan, di mana Indonesia kembali ke jalan kesejatian diri, kesejarahan, cara berkeilmuan, dan mengutamakan etika moral. Dengan begitu, “segenap bangsa Indonesia bisa mengembalikan martabatnya; memulihkan hilangnya kebebasan berekspresi yang mengoyak demokrasi dan rasa keadilan.”

Presiden kini tanpa malu berpihak kepada paslon tertentu dan berkampanye, bahkan melakukan instrumentasi aparatur negara hingga partai politik. Lembaga konstitusi juga tebukti melakukan pelanggaran etika berat.

Prof. FX Mudji Sutrisno atau Romo Mudji turut menekankan pentingnya berkebudayaan dalam berpolitik. Sejalan dengan makna bahwa berkebudayaan adalah berkesadaran moral ketika beritindak dan memahami baik-buruk yang bersumber dari nurani, “politik berkebudayaan artinya berpolitik yang mendasarkan pada etika dan nilai moral.”

Adapun untuk menyelamatkan Indonesia sekarang, Romo Mudji mengatakan, masyarakat harus anjing yang menggonggong. “Saat ada masalah, maka kita menggonggong; kita tidak tinggal diam,” pungkasnya. Menurutnya, Indonesia masih punya harapan untuk maju seiring munculnya kesadaran sejumlah menteri untuk mundur dari kabinet, adanya orasi-orasi dari gerakan mahasiswa, dan lain sebagainya. “Saya percaya, meski sedang ada ‘mendung demokrasi’, kita semua tetap punya harapan untuk maju.”

Lebih lanjut, menyongsong Pemilu 2024, Romo Mudji berpesan agar masyarakat Indonesia tak memilih calon pemimpin yang telah jelas akan membungkam suara, tak menghargai kemajuan, dan yang menginjak, meremehkan, bahkan menghancurkan kemanusiaan. “Kita sepakat saat 1998 bahwa martabat adalah nomor satu,” pungkasnya.

Menurut Dr. Mohamad Sobary atau Kang Sobary, membangun etika berkebudayaan serta etika berdemokrasi dan berpolitik adalah pekerjaan berat. Dibutuhkan usaha konsisten agar etika, yang berbasis kebudayaan, tetap tampil dalam wajah politik. Namun, ada kalanya etika terkoyak-koyak dan roboh. “Ini (etika) pasti ada saja yang merusak… Tapi tenang, kita punya mekanisme kontrol, aturan, dan sebagainya,” lanjutnya. “Mari (etika) ditegakkan lagi dengan cara memperukuh tradisi, memperbarui cara pandang dan semangat mengenai tentang apa yang baik, agung, mulia. Lalu yang remeh temeh dihancurkan. “

Kang Sobary juga menekankan pentingnya “weapon of the weak” atau perlawanan rakyat terhadap pemerintah yang sudah tak bisa lagi dipercaya maupun diharapkan. “Mereka (pemerintah) itu yang konservatif, yang takut kehilangan jabatan, sumber keuangan, dan lain-lain,” sambungnya.

Ia mengatakan bahwa perlawanan rakyat itu bisa dilakukan tanpa melawan dengan berpartisipasi di hajatan politik pemilu yang digelar lima tahun sekali. Ia mewanti-wanti soal preferensi pemimpin atau pemerintah masyarakat. “Sebelumnya kita telah tertipu oleh fatamorgana, dan celakanya tertipu oleh imajinasi kita sendiri tentang orang yang kelihatannya sederhana… Kita keliru.”

Tim PARA Syndicate