Intisari Diskusi
Jumat, 18 Agustus 2023

Refleksi 78 Tahun Indonesia Merdeka: Politik Pemilu dan Masa Depan Kita

Menyambut hari lahir Indonesia yang juga mendekati pegelaran Pemilu 2024, PARA Syndicate dan Ikatan Alumni STF Driyarkara (IKAD) menggelar diskusi bertajuk “Refleksi 78 Tahun Indonesia Merdeka: Politik Pemilu dan Masa Depan Kita”. Diskusi ini dilaksanakan di Kantor PARA Syndicate, Jakarta Selatan18 pada Jumat, 18 Agustus 2023.

Dengan menghadirkan sejumlah narasumber, diskusi ini menjadi wadah untuk merefleksikan situasi politik dan kepemiluan di Indonesia, serta nasib keduanya di masa mendatang.

Di muka diskusi, Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo menyoroti pergeseran tren gerakan kerakyatan, yang pada gilirannya berimplikasi pada kemunculan polarisasi dalam arena demokrasi.

Sebelum kemerdekaan, gerakan kerakyatan begitu signifikan dalam memperjuangkan kemerdekaan dan demokrasi. Berbeda dengan sekarang di mana gerakan kerakyatan cenderung surut, sementara gerakan elitis lebih dominan. Ari menduga pergeseran tren ini terjadi akibat polarisasi dalam arena demokrasj yang didesain oleh elit-elit politik melalui, salah satunya, survei elektabilitas. Di saat yang bersamaan, masyarakat sipil terpinggirkan dari ruang publik dan demokrasi sehingga suara mereka juga terpinggirkan.

“Fenomena ini menjadi keprihatinan karena demokrasi kita dibajak oleh elit politik,” pungkas Ari. Ia menambahkan bahwa, alih-alih terlarut dalam fenomena tersebut, hajatan Pemilu 2024 nanti semestinya disambut dengan perumusan tentang pemimpin seperti apa yang dibutuhkan oleh Indonesia.

Sebelum kemerdekaan, gerakan kerakyatan begitu signifikan dalam memperjuangkan kemerdekaan dan demokrasi. Berbeda dengan sekarang di mana gerakan kerakyatan cenderung surut, sementara gerakan elitis lebih dominan.

Dalam kesempatan yang sama, Anggota IKAD Maeda Yoppy menyayangkan pemilu belum bisa menghantarkan Indonesia kepada kemerdekaan sejati meski digelar rutin sejak 1955. Pasalnya, negara ini masih menghadapi berbagai permasalahan politik hingga sosial.

Maeda berpendapat bahwa untuk mencapai kemerdekaan sejati, negara harus melawan kapitalisme dan imperialisme Barat sebagaimana pemikiran presiden pertama Indonesia Sukarno. Selanjutnya, menumbuhkan kesadaran politik di kalangan masyarakat dan menjadikan partai politik sebagai wadah pergerakan masyarakat.

“(Untuk merdeka) bukan sekadar menggelar pemilu… Problem dasar kita itu adalah perlawanan terhadap kapitalisme dan imperialisme agar mendapat kemerdekaan yang sejati,” ujar Maeda. “Tapi, menurut saya, kita harus mengakui bahwa belum ada partai politik yang menyadari atau melakukan tentang hal itu.”

Senada dengan Maeda, Amin Mudzakkir, Anggota IKAD sekaligus Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menambahkan bahwa apabila Indonesia mau mengentaskan berbagai masalah yang menghambat kemerdekaan, hal pokok yang perlu dilakukan ialah mengkritik secara tepat kapitalisme dan liberalisme-neoliberalisme.

“Tapi yang terjadi, dalam mengatasi masalah itu, kita hari ini hanya mengatasi ‘asap’, bukan mengatasi ‘api’. Cara kita mengatasi masalah cenderung parsial,” ujar Amin.

Dalam konteks pemilu mendatang, lanjut dia, harus dilakukan kajian komprehensif untuk merefleksikan kemerdekaan sehingga pengentasan masalah negara tak lagi parsial.

Analis politik dari Exposit Strategic dan anggota IKAD, Arif Susanto, turut menekankan bahwa yang esensial dalam politik bukanlah pemilu, melainkan permusyawaratan rakyat.

“Apabila politik didefinisikan dari pemilu saja, maka yang jadi orientasi adalah menang atau kalah dan ini akan mengerdilkan politik karena politik diasosiasikan dengan kompetisi dan polarisasi,” sambungnya.

Lebih lanjut, Arif mengatakan bahwa seharusnya pemilu mampu mendorong transformasi dan mewujudkan kemerdekaan. Apalagi mengingat kemerdekaan negara ini juga “didukung oleh pelaksanaan pemilu.”

[Tim PARA Syndicate]