Intisari Diskusi
Kamis, 15 Desember 2022

Evaluasi Tahapan Pemilu dan Catatan Politik Akhir Tahun: Seberapa Demokratiskah Politik Elektoral Menuju Pemilu 2024

LIMA - Formappi - KIPP - TePI - Kata Rakyat - PARA Syndicate

Perihal tahapan Pemilu, proses verifikasi faktual baru saja selesai pada Rabu (14/12) lalu. Namun, beberapa hari sebelumnya, mencuat isu bahwa KPU melakukan manipulasi selama proses verifikasi faktual. Isu ini disusul aksi protes kepada KPU. Keriuhan ini dikhawatirkan mendelegitimasi proses Pemilu 2024. Hal ini berpotensi memunculkan kembali isu perpanjangan jabatan atau tiga periode Presiden Jokowi.
Bersamaan dengan keriuhan itu, peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga dipertanyakan. Badan yang seharusnya mengawasi pelaksanaan tahapan Pemilu ini tampaknya belum mampu memitigasi masalah seperti itu, serta tak transparan terkait polemik yang terjadi.

Pada gilirannya, kecurigaan publik kepada KPU dan Bawaslu jadi meningkat. Publik jadi antipati terhadap pemilu. Maka dari itu, pengelolaan pengelola hajatan Pemilu harus hati-hati, termasuk mengenai persoalan administratif—yang belakangan dianggap dimanipulasi itu. Hal yang tak kalah penting, baik KPU maupun Bawaslu harus berbenah dan ingat independensinya. Keduanya harus menanggapi laporan dari publik dengan serius, serta harus transparan.
Adapun perihal kinerja pemerintah di sepanjang 2022, kemungkinan menurun. Ada dua kemungkinan terkait hal ini. Kalau menurun perlahan, maka “legacy” Jokowi-Ma’ruf akan terjaga dengan baik. Kemudian di Pemilu selanjutnya, masyarakat lebih mungkin memilih calon presiden yang sosoknya seperti Jokowi.

Sementara itu, kalau kepuasan turun secara signifikan, Jokowi saat ini harus mempertahankan eksistensinya dan konsolidasi di tengah atmosfer Pemilu 2024. Dengan begitu, pemerintah masih berjalan kondusif.

Terlihat bahwa Prinsip DPR sekarang yaitu “asal cepat, asal jadi. Isi tinggal revisi dan perihal publik, itu urusan nanti.” Kepastian hukum ini jadi lentur, termasuk soal peraturan perundang-undangan (Perpu) baru tentang Pemilu dan UU Ibu Kota Nusantara (IKN).

Masih perihal kinerja pemerintah, yang disayangkan adalah peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya mengakomodasi keinginan pemerintah saja. Sebab kebanyakaan undang-undang (UU) diinisiasi oleh pemerintah, dan ini minim partisipasi publik. Sementara, DPR sekadar pemberi stampel. Terlihat bahwa Prinsip DPR sekarang yaitu “asal cepat, asal jadi. Isi tinggal revisi dan perihal publik, itu urusan nanti.” Kepastian hukum ini jadi lentur, termasuk soal peraturan perundang-undangan (Perpu) baru tentang Pemilu dan UU Ibu Kota Nusantara (IKN).

Berangkat dari itu, dari sisi demokrasi, pemerintah Indonesia tampak semakin sentralistik. Desentralisasi juga meluntur dan ini terlihat dari jalannya Pemilu, di mana keputusan KPU daerah harus berdasarkan keputusan pusat.
Melihat berbagai persoalan itu, pemerintah memang harus berbenah. Adapun pertanyaan perihal reshuffle dan berbagai hal lain terkait pemerintah saat ini akan terjawab paling lambat Maret nanti.
Sembari berbenah, pemerintah harus mempersiapkan Pemilu 2024 yang akan menentukan nasib negara di masa mendatang. Dalam menghadapi Pemilu ini, diperlukan kearifan atau kedewasaan dalam berpolitik termasuk di elit politik, misalnya presiden harus netral dan tak condong memilih calon tertentu.

Perlu diingat juga bahwa polarisasi selama kampanye adalah keniscayaan, namun akan lebih kondusif bila yang diisukan seputar gagasan; bukan SARA. Selain itu, perbedaan pilihan politik harus dihargai.

[Tim PARASyndicate]