Intisari Diskusi
Jumat, 8 Desember 2023
Seri 1 – Suara Orang Muda | Ilusi Pemilu dan Demokrasi: Berpolitik, Bernegara, Berkonstitusi
PARA Syndicate mengundang orang muda di serial pertama diskusi mengenai catatan politik akhir tahun dan proyeksi demokrasi Indonesia setelah Pemilu 2024. Diskusi ini bertajuk “Ilusi Pemilu dan Demokrasi: Berpolitik, Bernegara, Berkonstitusi”. Adapun diskusi digelar di kantor PARA Syndicate, Jakarta Selatan, Jumat (8/11). Seri lanjutan akan digelar pada hari dan waktu yang sama pada pekan depan.
Di sesi kali ini, orang muda yang diundang menjadi narasumber yaitu peneliti politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mouliza Donna Sweinstani, Direktur Eksekutif Kata Rakyat Alwan Ola Riantoby, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Nicky Fahrizal, dan peneliti PARA Syndicate Virdika Rizky Utama.
Sebelum memasuki sesi diskusi, Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo menyampaikan sambutan dan pandangannya. Menurutnya, pemilihan umum (Pemilu) 2024 merupakan pemilu dengan proses atau tahapan paling gaduh. “Saat kick off tahapan pemilu sudah ada wacana tunda pemilu, perpanjangan masa jabatan presiden, anggaran pemilu bermasalah, adanya isu KKN dan neo Orde Baru, dan seterusnya… Ini tentu bukan isu-isu atau wacana yang muncul begitu saja,” lanjutnya.
Melihat situasi itu, kata Ari, harus dilakukan refleksi dan proyeksi mengenai ada atau tidaknya optimisme demokrasi dan pemilu di Indonesia ke depan. Ia turut mengutip pernyataan mendiang Soegeng Sarjadi dan menegaskan, semestinya berpolitik dijalankan dalam rangka bernegara dan bernegara semestinya dijalankan dalam kerangka konstitusi.
“Jadi, politik itu bukan hanya untuk mengejar kekuasaan tapi bagaimana kita membangun negara atau bernegara. Lalu bernegara harus sesuai dengan konstitusi, tapi hari ini terjadi tindakan yang menabrak konstitusi. Ada politisasi yudisial, etika politik pun dilanggar. Puncaknya terjadi menjelang pendaftaran pemilihan presiden,” tuturnya.
Di muka diskusi, Mouliza Donna menyoroti demokrasi di Indonesia setahun terakhir, yang menurutnya, banyak masalah. Masalah ini dimulai dari verifikasi partai politik (parpol), yang membuat publik mempertanyakan integritas penyelenggara pemilu. Selanjutnya, masalah berlanjut ketika sejumlah parpol “start” kampanye, yang didukung oleh kekaburan makna antara “sosialisasi” dan “kampanye”. Ditambah lagi masalah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang kompromis karena tak memenuhi keterwakilan perempuan minimal 30 persen dengan pembulatan ke atas, demikian pula pembatalan daftar calon tetap (DCT) yang tak tegas meski tak sesuai PKPU.
“Satu-satunya cara supaya pemilu berkualitas yaitu penyelenggara pemilu harus tegas dan berintegritas,” tandas Donna. Masalah lainnya yang membuat pemilu gaduh yaitu menyangkut pelembagaan parpol, yang bermanuver sekadar untuk mendekati elit petahana, bukan mencari koalisi yang satu nilai. “Kalau mereka menerapkan meritokrasi, mereka ga akan bermanuver seperti itu karena nilai atau party id-nya jelas.”
Anak muda bakal menjadi pemilih dominan di Pemilu 2024 ini. Lantas Donna menekankan bahwa parpol, selaku salah satu aktor demokrasi, seharusnya tak sekadar melabeli diri sebagai parpol anak muda. “Apakah klaim itu benar dan akan mengakomodasi aspirasi anak muda, ini jauh lebih penting daripada sekadar klaim,” pungkasnya. Ia pun menambahkan bahwa kesenjangan digital di Indonesia juga harus jadi perhatian karena berpotensi menciptakan kesenjangan demokrasi.
Adapun Alwan Ola mengatakan sejatinya Pemilu 2024 diharapkan memberi perbaikan demi masa mendatang. Untuk ini, demokrasi harus bergeser dari prosedural menjadi substansial sehingga mempromosikan gagasan lebih diutamakan ketimbang “arisan” mencari nama pemimpin. Namun, yang terjadi saat ini adalah kemunduran demokrasi, yang saat ini bisa dilihat dari manuver kampanye peserta politik dan pengkaderan parpol.
“Di Pemilu 2019, iklim politik tidak bergagasan dan tidak beretika karena cebong dan kampret. Kemudian hari ini justru dimunculkan situasi yang sama, politik yang riang gembira, tanpa isi, hanya joget-joget, dadah-dadah, lalu selesai,” tuturnya sembari berpesan kepada anak muda, yang komunitasnya besar, “jangan sampai dikapitalisasi oleh kelompok elit. Jangan sampai yang memilih pemimpin hanya karena populer dan familiar. Harus tahu isi atau gagasannya apa.”
Mengenai kaderisasi parpol, menurutnya, meritokrasi langka karena kader baru bisa melenggang ke politik formal jika punya hubungan dengan elit tertentu. “Yang penting anaknya siapa kemudian bisa jadi orang… ini memotong banyak harapan anak muda yang bukan siapa-siapa yang ingin jadi pemimpin daerah dan lainnya.”
Lebih lanjut, Alwan menyebutkan sejumlah ancaman di Indonesia mendatang yaitu dinasti politik yang berpotensi menjadi ruang penyalahgunaan kekuasaan. Lalu konflik kepentingan yang didukung oleh “kapitalisasi” anak muda. Juga demokrasi saat ini cenderung menegasikan prestasi, kendati meritokrasi semestinya diutamakan.
Demokrasi harus bergeser dari prosedural menjadi substansial sehingga mempromosikan gagasan lebih diutamakan ketimbang “arisan” mencari nama pemimpin.
Sementara itu, Nicky Fahrizal melihat ketidakpastian hukum yang ada di Indonesia. Ia menilai bahwa hukum saat ini tak lebih dari sekadar instrumen kekuasaan. “Ini ruled by law, bukan rule of law. Kalau saya mau suatu hal itu terjadi, maka saya buatkan hukumnya. Carikan landasan hukumnya, agenda yang saya mau, harus tercapai. Itu yang terjadi di kasus UU Cipta Kerja… Tata kelola hukum kita saat ini tidak cukup baik,” katanya.
Dalam demokrasi, lanjut Nicky, budaya politik di Indonesia cenderung rendah. Ini terjadi karena politisi tak memberi keteladanan, minim keutamaan politik, lebih banyak gimik ketimbang gagasan, hingga kaderisasi parpol diabaikan. Kekuasaan pun menjadi satu-satunya tujuan politisi. Belum lagi, kualifikasi kenegawaranan minim, demikian pula etika dalam bernegara. Pada akhirnya, hal ini membuat Indonesia terjebak pada demokrasi prosedural sehingga demokrasi menjadi stagnan.
“Anak muda harus mengedepankan berpolitik dan bernegara sesuai dengan etika. Kemudian konstitusi adalah pegangan dalam bernegara dan berpolitik, bukan figur yang jadi pegangan. Hemat saya, hari ini kita dituntut untuk tidak hanya merawat demokrasi, tapi merawat republik,” pungkas Nicky.
Dalam kesempatan itu, Virdika menambahkan bahwa keberadaan “oligark” dalam setiap pemilu memungkinkan kemakmuran tak meluas atau menetes ke bawah. Potensi pemilu kali ini pun demikian. “Semua capres-cawapres saat ini dibekingi oleh perusahaan, yang merupakan bagian dari Orde Baru bahkan pelaku kejahatan kemanusiaan,” katanya.
Perihal anak muda, Virdi prihatin narasi kelompok ini dikooptasi oleh elit, lantaran mereka menjadi pemilih dominan di Pemilu 2024 nanti. Padahal anak muda biasanya men-challenge status quo. “Mereka diameteral dengan kekuasaan, itu terjadi di tahun ‘28, ‘66, juga ‘98, tapi nyatanya hari ini justru anak muda dikapitalisasi untuk mempertahankan status quo,” sambungnya.
Masih tentang anak muda, Virdi menambahkan salah satu hal yang dielukan oleh kelompok ini ialah freedom of expression dan berpendapat yang dijamin oleh undang-undang (UU). Namun, sambungnya, UU yang ada justru memperbesar potensi peluang untuk dikriminalisasi. “Kasus Azhar dan Fathia itu yang paling nyata. Mereka dipolisikan. Ini jadi warning bagi anak muda, mereka jadi takut dan merasa tak bebas,” tambahnya.
Lebih jauh, ia menyoroti sikap presiden petahana Jokowi yang menganggap dirinya sebagai Messiah, justru menjadi problem bagi demokrasi. “Dia merasa negara harus dilanjutkan dengan kehadiran dia. Kalau tidak dengan tiga periode atau tunda pemilu, dia bisa mencalonkan orangnya dia… Ini menjadi problem dalam demokrasi,” ujarnya.
[Tim PARA Syndicate]