Intisari Diskusi Syndicate Forum
Jumat, 15 Desember 2023

Seri 2 - Suara Eksponen Aktivis Lintas Angkatan | Ilusi Pemilu dan Demokrasi: Berpolitik, Bernegara, Berkonstitusi

PARA Syndicate mengundang para eksponen aktivis lintas angkatan, mulai dari aktivis tahun 1974, 1977/1978, 1998, dan terkini yaitu 2023, sebagai narasumber diskusi pada Jumat, 15 Desember 2023. Diskusi ini bertajuk “Suara Eksponen Aktivis Lintas Angkatan”, dan merupakan seri kedua dari tema “Ilusi Pemilu dan Demokrasi: Berpolitik, Bernegara, Berkonstitusi”.

Para eksponen aktivis yang mengisi diskusi ini yaitu Jus Soema Di Pradja (wartawan senior), Indro Tjahjono (aktivis eksponen 1977/1978), Ray Rangkuti (aktivis eksponen 1998), dan Rian Fahardhi (aktivis muda).

Diskusi dibuka dengan orasi dari Jus Soema Di Pradja yang ditayangkan melalui video. Menurutnya, sejarah Indonesia membuktikan demokrasi hanyalah mimpi karena yang ada adalah feodalisme. Demokrasi diperkenalkan oleh Sukarno melalui “Demokrasi Terpimpin” yang kontradiktif dengan demokrasi—di mana kedaulatan seharusnya berasal dari rakyat, bukan semata-mata pemimpin. Lalu, kata dia, di masa Orde Baru, demokrasi hanya untuk kepentingan pribadi atau keluarga Suharto.

Pria yang kerap disapa Bang Yus itu melanjutkan bahwa demokrasi semakin hancur lebur setelah reformasi. Pasalnya, Indonesia masih belum bisa terlepas dari pengaruh Suharto, belum bebas dari pengaruh Habibie, hingga masih mewariskan partai politik (parpol) dan sistemnya yang ada di masa Orde Baru. “Jadi, demokrasi sekadar slogan,” tandasnya. Namun demikian, ia tak memungkiri “demokrasi yang agak baik itu di era Gus Dur” dan era “Mega agak lumayan.”

Adapun Joko Widodo (Jokowi) ia anggap sebagai presiden terburuk sepanjang Indonesia 80 tahun merdeka. “Dia tidak paham tentang demokrasi,” pungkasnya, seraya menyoroti intervensi Mahkamah Konstitusi (MK) yang memuluskan anak Jokowi ke kontestasi Pilpres 2024. Ia lantas menegaskan, “Demokrasi harus diperjuangkan.”

Indro Tjahjono pun mengakui saat ini tak ada demokrasi. Salah satu indikasinya yaitu ketiadaan anggota parlemen yang mendengarkan rakyat. Indikasi lainnya, parpol semata-mata dikuasai elit alih-alih rakyat. Sementara itu, apabila demokrasi berjalan, maka rakyatlah yang menjadi raja. “Nyatanya, perusakan tatanan demokrasi berjalan terus. Ini menjungkirbalikan prinsip demokrasi, demokrasi tanpa nilai, tanpa mekanisme,” tuturnya.

Perihal proses pemilu, menurutnya, selalu diwarnai manipulasi dan rentan kecurangan. Apalagi saat ini manipulasi dan kecurangan dalam pemilu bisa dilakukan lebih canggih karena mengandalkan teknologi informasi, termasuk dalam urusan jual beli suara dan kesepakatan peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu mengenai siapa pemenang pemilu. Berangkat dari itu, Indro menilai pemilu pada kenyataannya adalah “sarana untuk saling berunding siapa yang akan dimenangkan. Padahal kalau demokratis, ada keterbukaan akuntabilitas, liber jurdil, tapi nyatanya nggak begitu.” Ia pun mengingatkan bahwa kecurangan dimulai dari perekrutan anggota penyelenggara pemilu.

Lebih lanjut, Indro berpendapat pemilu saat ini tampaknya dilaksanakan karena terpaksa. Ia menyoroti wacana sebelumnya yang pernah beredat, termasuk wacana pemilu diundur. Demokrasi pun tampak tak ada. “Saat ini kebebasan berbicara tidak ada, ada intel telibat menguasai ASN pegawai, dan lainnya,” katanya.

Menurut Bang Yus, demokrasi semakin hancur lebur setelah reformasi. Pasalnya, Indonesia masih belum bisa terlepas dari pengaruh Suharto, belum bebas dari pengaruh Habibie, hingga masih mewariskan partai politik (parpol) dan sistemnya yang ada di masa Orde Baru. “Jadi, demokrasi sekadar slogan,” tandasnya.

Sementara itu, Ray Rangkuti turut menyoroti para aktivis di masa Orde Baru yang kini malah berkompromi dengan kekuasaan dan pelaku kejahatan kemanusiaan. Ia menyebutkan demarkasi antara mereka dengan aktivis 1998 “sungguhan”, yang setidaknya mencakup tiga prinsip. “Pertama, antikorupsi. Kedua, jengkel dan marah pada pelanggar HAM sehingga tidak mungkin kolaborasi dengan mereka. Ketiga, antinepotisme termasuk dinasti,” terangnya.

Ray menegaskan bila ada aktivis 1998 yang tak sejalan dengan ketiga prinsip itu, maka mereka bukanlah aktivis. “Mereka telah mencederai usaha, energi, dan waktu yang membuat kita ada di tahap sekarang ini… mereka bukan lagi aktivis ‘98, tapi aktivis asam sulfat,” pungkasnya.

Ia pun berpendapat pemilu kali ini merupakan yang terburuk dari lima pemilu di sepanjang era Reformasi. Pasalnya, proses pemilu diwarnai oleh munculnya wacana tunda pemilu, intervensi MK, wacana perubahan format debat calon presiden dan wakilnya, penyelenggara pemilu seperti Bawaslu tak melakukan hal berarti meski ada pelanggaran, hingga kampanye didominasi gimik dan bukan gagasan.

Dalam kesempatan itu, Rian Fahardhi berharap pada generasi muda, termasuk generasi Z, untuk mendorong perubahan nyata di tengah rasa kekecewaan dan frustrasi terhadap negara. Menurutnya, generasi muda selalu mendambakan kebaikan dari rasa-rasa tersebut. “Indonesia tidak akan bisa menjadi emas kalau anak mudanya tidak cemas pada negaranya sendiri,” sambung dia. Untuk mendukung hal ini, menurutnya, jangan sampai Indonesia terjebak dalam “gap” generasi karena “transaksi informasi” antargenerasi itu penting.

Perihal pemilu, Rian menekankan bahwa banyak anak muda yang menantikan gagasan calon pemimpin baru. Namun, sayangnya, belakangan gagasan bukan prioritas selama kampanye. Adapun menyoal demokrasi di Indonesia, banyak orang muda yang dihantui rasa takut karena tak ada ruang untuk menyampaikan aspirasi atau mengkririk pemerintah. Catatan lainnya, pemimpin-pemimpin saat ini tak bisa memberi teladan yang baik.

Rian meyakini bahwa rakyat butuh pemimpin yang peduli dan tak berjarak dengan rakyat, yang berkarya dengan hasil yang amat riil serta bukan memperkaya keluarga. “Kita harus melihat, pemimpin yang akan memberi harapan bagi generasi muda ke depan adalah pemimpin yang benar-benar peduli, yang menganggap anak muda muda sekadar objek, tapi subjek,” lanjutnya.

[Tim PARA Syndicate]