Intisari Diskusi Syndicate Forum
22 Desember 2023
Seri 3 - Suara Perempuan di Hari Ibu | Ilusi Pemilu dan Demokrasi: Berpolitik, Bernegara, Berkonstitusi
PARA Syndicate menutup rangkaian serial diskusi “Ilusi Pemilu dan Demokrasi: Berpolitik, Bernegara, Berkonstitusi” pada Jumat, 22 Desember 2023, yang bertepatan pada Hari Ibu Nasional. Digelar di Kantor PARA Syndicate, subtema yang diangkat di momen ini adalah “Suara Perempuan di Hari Ibu”.
Diskusi ini menjadi penegas bahwa Hari Ibu tak sekadar diasosiakan oleh peran perempuan dalam ranah domestik, sebagaimana dimaknai kebanyakan orang sejak Orde Baru. Perempuan bukan sekadar istri dari seorang suami ataupun ibu dari anak-anak, melainkan lebih luas termasuk dalam politik.
Sejarah mencatat, Hari Ibu—yang ditetapkan sejak 1959—diperingati sebagai pengingat dan penghargaan terhadap perjuangan perempuan dalam memperjuangkan kebebasan bangsa dari pemerintah kolonial. Perjuangan ini terwujud dalam gelaran Kongres Perempuan Indonesia pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Adapun kongres ini disebut-sebut sebagai tonggak pertama perempuan berkiprah di politik praktis, di mana pada saat itu para perempuan dari 30 organisasi berunding untuk mengentaskan persoalan pendidikan perempuan, nasib yatim piatu, hingga antipoligami.
Sementara itu, dalam konteks politik terkini, peran perempuan tampaknya semakin direduksi. Di saat yang sama, situasi ini berkaitan erat dengan pemunduran demokrasi di negara.
Bertolak dari momen dan dinamika politik hari ini, PARA Syndicate mengundang empat narasumber diskusi yaitu Prof. Siti Musdah Mulia (Pendiri Indonesian Conference on Religion and Peace/ICRP dan Akademisi), Bivitri Susanti (Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera), Titi Anggraini (Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi/Perludem), dan Hurriyah (Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik UI). Diskusi ini dibuka dengan sambutan Ari Nurcahyo (Direktur Eksekutif PARA Syndicate).
Ari Nurcahyo mengingatkan kepada publik bahwa kondisi demokrasi di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Menurutnya, persoalan tersebut melampaui generasi bahkan gender, karena dipandang dan berdampak secara universal kepada siapa pun. “Jadi, generasi Z, X, hingga baby boomers, laki-laki maupun perempuan, tentu punya frekuensi yang sama: demokrasi indonesia sedang tidak baik-baik saja,” lanjutnya.
Maka dari itu, kata Ari, semuanya harus bersatu padu untuk menyelamatkan demokrasi di Indonesia. Ia mengajak publik untuk membuka mata dengan melihat dinamika atau “wajah” politik hari ini. Ia melajutkan, “saat ini berpolitik hanya untuk berkuasa. Bernegara untuk sekelompok orang atau dinasti, bahkan keluarga. Berkonstitusi yang ada adalah penyelewengan konstitusi.”
Di muka diskusi, Prof. Musdah menilai persoalan dalam demokrasi belakangan, lanjutnya, berakar pada krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah. Ini disebabkan oleh berbagai hal, termasuk pembiaran kekerasaan bahkan pembunuhan di Papua, oleh pemerintah. Ditambah lagi perapuhan lembaga-lembaga independen, seperti Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), akibat nepotisme.
“Hal-hal itu menimbulkan krisis moral publik. Indikatornya, ada banyak perundungan di lembaga pendidikan, bahkan intoleransi dan kekerasan seksual… Kemudian absennya keadaban publik. Maraknya praktek terabas, tanpa proses. Terkonsentrasinya kekuasaan. Pembungkaman secara holistik,” tuturnya.
Prof. Musdah menambahkan bahwa pemilu mesti mengikutsertakan seluruh elemen masyarakat, termasuk perempuan, agar bermakna. Ia juga menambahkan, “Pemilu 2024 hanya akan berhasil mana kala seluruh elemen masyarakat kritis dalam memeriksa agenda politik para kandidat, peduli pada isu perempuan dan kelompok marjinal lainnya, bukan dengan pendekatan belas kasihan sambil mempertahankan patriarki. Namun, diperlukan pendekatan untuk hidup yang layak, aman, setara dan adil, serta bermartabat sebagai hak yang dijamin undang-undang dan demokrasi juga HAM.”
"Generasi Z, X, hingga baby boomers, laki-laki maupun perempuan, tentu punya frekuensi yang sama: demokrasi indonesia sedang tidak baik-baik saja,” lanjut Ari. .
Titi Anggraini menyoroti keterwakilan perempuan dalam pemilu legislatif di 2024 belum memenuhi afirmasi 30 persen dengan pembulatan ke atas. Padahal Undang-Undang (UU) Pemilu mengamanatkan hal tersebut. “Sebelumnya di 2014-2019, tidak ada satupun daerah pemilihan untuk pemilu DPR dan DPRD, ini secara prosedural, keterwakilannya kurang dari 30 persen… jika tak memenuhi syarat ini, maka parpol peserta pemilu tersebut tidak boleh berkompetisi di dapilnya,” tuturnya. “Baru pada pemilu 2024, ini ilutif soal keterwakilan perempuan.”
Ia menyayangkan bahwa pihak yang melemahkan afirmasi keterwakilan perempuan ialah Komisi Pemilihan Umum (KPU), lembaga negara yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menegakkan demokrasi. “KPU, melalui peraturan Pasal 8 Ayat 2, memperkenalkan rumus matematika keterwakilan perempuan 30 persen dengan pembulatan ke bawah. Padahal pembulatan mestinya ke atas,” pungkas Titi.
Meski masyarakat sipil mengajukan uji aturan ke MA dan MA mengabulkannya melalui putusan 24P/HUM/2023, KPU tak menindaklanjuti putusan tersebut hingga sekarang. Ini mengindikasikan kemunduran demokrasi sekaligus menjadikan pemilu legislatif cacat konstitusional karena tetap dilanjutkan KPU meski bertentangan dengan UU, menurut Titi. “Penyebabnya, rendahnya komitmen terhadap keterwakilan perempuan, perspektif parpol yang menganggap komitmen tersebut sebagai beban, sikap diskriminatif, hingga masalah di ekosistem politik. Padahal bukan demokrasi bila tak semua masyarakat diikutsertakan, perempuan ditinggalkan,” lanjutnya.
Senada, Bivitri Susanti menilai akar masalah dinamika politik belakangan ialah kemunduran demokrasi. Kemunduran ini dapat dilihat dari terjadinya pembengkokan hukum, adanya kartel politik, hingga keterlibatan oligarki dalam politik. Pada gilirannya, berbagai faktor itu memungkinkan perempuan yang ingin berkiprah di politik jadi terbebani, terutama perempuan non elit.
Untuk berkiprah di politik, perempuan umumnya dihadapkan dengan tiga persoalan—yang akarnya adalah budaya patriatki—yaitu di ranah affirmative action yang dianggap beban, parpol tak memberi ruang untuk berpolitik bagi perempuan, dan proses politik yang minim partisipasi perempuan. “Laki-laki merasa affirmative action menyusahkan, beban. Mereka merasa nggak ada perempuan berkualitas, tapi kualitas laki-laki kok nggak ditanya. ‘Kan ada kaderisasi. Tujuan affirmative action itu sebetulnya untuk membangun kaderisasi yang baik, termasuk membuka ruang yang cukup untuk perempuan berpolitik, di saat ada tuntutan kuota (30 persen keterwakilan perempuan). Itu bisa dipenuhi kalau parpol berpikir keterwakilan, bukan kekuasaan atau ‘kursi’,” kata Bivitri. “Kedudukan perempuan di parpol juga dianggap tak setara. Meaningful participation juga sangat minim untuk perempuan.”
“Apakah dampak legisasi pada perempuan itu digali atau ditanyakan? Boro-boro. Sipil umum saja tidak,” pungkas Bivitri. Lebih lanjut, ia mendorong publik membangun politik kewargaan dengan perspektif perempuan. Ia pun mengingatkan bahwa partisipasi politik bukan hanya ketika pemilu, melainkan “setiap hari dan dalam berpolitik, kita memerhatikan situasi-situasi kemanusiaan yang juga bisa mendorong demokrasi yang lebih baik.”
Perihal penurunan demokrasi, Hurriyah meyakini bahwa secara teoretis, Indonesia bukan lagi negara demokrasi. Sebab indeks kebebasan sipil dan kebebasan berekspresi di Indonesia sejak 2015 sampai sekarang, menurut berbagai lembaga penelitian internasional, menurun perlahan. “Ini erosi demokrasi yang terjadi perlahan karena demokrasi dilemahkan oleh para politisi,” tandasnya.
Ia melanjutkan, erosi demokrasi berpotensi terjadi ketika petahana mengupayakan cara untuk melanggengkan atau memperkuat kekuasaan, termasuk upaya untuk memperpanjang masa jabatan, tunda pemilu, hingga putusan MK yang memuluskan anak presiden petahana melenggang ke kontestasi pemilihan presiden 2024. Di saat yang bersamaan, lanjutnya, akuntabilitas horizontal melemah. Kontrol dari masyarakat sipil melemah lantaran mereka menjadi tim sukses, relawan, dan masuk ke sistem pemerintahan. Akhirnya minim oposisi, minim kontrol dari publik sejak Pemilu 2014. Ditambah lagi, bantuan sosial juga dipolitisasi dan kepala daerah dimobilisasi untuk kepentingan politik. “Cara-cara politik Orde Baru sekarang direproduksi lagi dengan gaya dan narasi baru,” tambahnya.
Masyarakat sudah mengkritik, tetapi tak didengar. Ini disebabkan polarisasi dan populis, pembangunan “false public opinion” melalui survei elektabilitas kandidat yang diharapkan memengaruhi perspektif publik, dan rendahnya literasi politik. “Di situasi ini, yang bisa kita lakukan adalah penjadi pemilih yang berdaya. Memilih adalah hak. Selain itu, pemilih juga kewajiban, yaitu menjadi rakyat yang mengawasi praktik kekuasaan akibat penggunaan hak pilih kita,” kata Hurriyah.
Tim PARA Syndicate