Intisari Diskusi Hari Pahlawan
Jumat, 10 November

Setelah Putusan MK: Siapa Pahlawan, Siapa Pengkhianat?

Putusan MK itu semata-mata untuk meloloskan anak sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, ke kontestasi Pilpres. Gibran diusung menjadi calon wakil presiden Prabowo Subianto. Dalam prosesnya, pemutusan terhadap gugatan MK tersebut dinilai cacat hukum. Terbukti bahwa ada berbagai pelanggaran kode etik, bahkan intervensi pihak luar, sebagaimana diungkapkan oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK) pada Selasa (7/10) lalu. MK yang harusnya jadi “guardian of constitution” ternyata kini tunduk pada kekuasaan.

Langkah Gibran menjadi cawapres Prabowo telah direstui oleh Bapaknya, Presiden Jokowi. Peristiwa ini bisa dikatakan sebagai puncak dari ketegangan hubungan antara Presiden Jokowi dan PDI Perjuangan (PDIP)—yaitu partai yang menjadi rahim politik Jokowi. Sebelumnya, hubungan antara Presiden Jokowi dan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri diisukan tak harmonis. Adapun putusan MK mempertegas demarkasi hubungan keduanya.

Dinamika itu tentu mengundang tanya. Utamanya perihal bagaimana nasib demokrasi Indonesia mendatang, mengingat konstitusi negara bisa “dikondisikan” dengan mudah demi kekuasaan. Berangkat dari hal itu, sekaligus menyambut Hari Pahlawan—yang biasa diperingati pada 10 November, PARA Syndicate menggelar diskusi bertajuk “Setelah Putusan MK: Siapa Pahlawan, Siapa Pengkhianat?” pada Jumat (10/11) ini di Kantor PARA Syndicate. Diskusi ini juga menjadi upaya refleksi terhadap dinamika politik hari ini.

Sejarawan Senior Prof Asvi Warman Adam mengawali diskusi dengan mengapresiasi upaya Presiden Jokowi yang mengakui adanya 12 kasus pelanggaran HAM berat pada Januari 2023 lalu. Kasus itu mulai dari 1965 sampai era Reformasi, termasuk penculikan, Peristiwa Trisakti, Peristiwa Semanggi 1 dan 2. “Pengakuan atas kasus-kasus itu menjadi prestasi yang luar biasa,” ujarnya. Sayangnya, hingga kini aktor atau dalang peristiwa itu belum diungkapkan ke publik

Prof Asvi pun turut menyayangkan kekurangan Jokowi saat ini, yang mencoba memunculkan kembali kultus individu. “Padahal presiden bisa aja salah… Pengkultusan presiden ini memunculkan wacana presiden seumur hidup, dan berpotensi mengarah mengarah kepada keotoriteran,” katanya sembari menyinggung masa Orde Lama ketika Presiden Sukarno dikultuskan menjadi presiden seumur hidup.

Adapun menyoal pemberian gelar pahlawan pada Hari Pahlawan tahun ini, menurut Prof Asvi, presiden harus bisa menjelaskan alasan seorang tokoh diberi gelar tersebut. Hal ini untuk mematahkan asumsi bahwa presiden sekadar mencari lumbung suara pemilih dari daerah pahlawan, mengingat Pemilu 2024 semakin dekat. “Lalu, kalau ingin dikatakan tak terkait lumbung suara, sedianya Presiden Jokowi memberi gelar pahlawan kepada tokoh lain… Pemberian gelar ini tidak harus diberikan pada Hari Pahlawan 10 November,” lanjutnya.

“Refleksi pahlawan di hari ini, kita kehilangan sosok yang bisa menjadi teladanan. Tidak ada keteladanan dalam berpolitik dan bernegara. Hari ini ada kejahatan demokrasi, kudeta demokrasi, yang dilakukan pemimpin kepada yang dipimpin… Mereka yang berkhianat adalah yang mengkhianati konstitusi dan demokrasi."

Dalam kesempatan yang sama, Koordinator Pergerakan Advokat Nusantara Petrus Selestinus mengatakan, “seharusnya MKMK bisa bilang putusan 90 tidak sah.” Ia merujuk pada Undang-Undang (UU) Kekuasaan Kehakiman Pasal 17 Ayat 5, yang menyebutkan: “Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.”

Petrus juga menambahkan bahwa pada Ayat 6, “…putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Ia juga menekankan bahwa UUD 1945 Pasal 24 menekankan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

“MK tak bisa menjaga kemandirian kehakiman karena ada konflik kepentingan dan intervensi, sehingga kehakiman harusnya dipidana,” pungkas Petrus, merujuk pada pencopotan jabatan Ketua MK Anwar Usman yang merupakan adik ipar Presiden Jokowi dan paman Gibran. “Kalau Anwar Usman tidak dikeluarkan dari MK, ini sama saja. Selain itu, kenapa MKMK Jimly hanya mencopot jabatannnya (Anwar Usman) saja? Saya menduga dia juga diintervensi.”

Politikus Senior PDI Perjuangan Andreas Hugo Pareira mengatakan bahwa salah satu dampak dari intervensi MK ialah munculnya ketidakpercayaan publik terhadap lembaga tersebut. Terkait hal ini, ia meyakini bahwa ada upaya terstruktur dan sistematis untuk melanggengkan kekuasaan.

“Saat ini ada persoalan legitimasi. Bisa jadi dia legal (hasil putusan MK). Tapi apakah dia ‘legitimate’? Ini ‘kan telah melanggar etik dan moral,” ujar Andreas. Ia lantas mengingatkan bahwa sebelum putusan MK, “ada rangkaian peristiwa yang terjadi, yang sarat akan melanggengkan kekuasaan. Mulai dari isu penambahan masa jabatan, presiden tiga periode, amandemen UUD 1945, dan lainnya.”

Adapun mengenai gesekan antara PDIP dan presiden petahana, lanjut Andreas, diawali dari persoalan atau pemaknaan tentang konstitusi. Ia menyentil upaya pelanggengan kekuasaan oleh petahana. “Ada dua, yang satu berkaitan konstitusi, yang satu urusan keluarga,” katanya, seraya mendorong rakyat untuk berpartisipasi mengawasi dinamika politik, termasuk proses Pemilu 2024.

Lebih lanjut, Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ari Nurcahyo menyoroti perubahan sikap Presiden Jokowi—yang kini tampaknya tak sejalan dengan PDIP dan melakukan instrumentasi hukum. Ia menduga ada dua hal yang menjadi faktor perubahan tersebut.

“Pertama, Jokowi memposisikan dirinya di atas konstitusi… Kedua, Jokowi mengalami mati rasa dengan PDIP, meski PDIP ini DNA Politik Jokowi,” terang Ari. Ia juga menyinggung bahwa untuk membaca sikap Jokowi di panggung politik, publik harus membandingkan kontradiksi dan konsistensinya—termasuk ketika memaknai pernyataan Presiden Jokowi yang menganjurkan politik sebaiknya adu gagasan, bukan adu perasaan. “Justru saat ini presiden mengaduk-aduk perasaan… ini sebetulnya akan memengaruhi kepercayaan dan legitimasi terhadap Jokowi selaku presiden.”

Melihat kepemimpinan yang seperti itu, Ari menilai bahwa Indonesia saat ini krisis keteladanan. “Refleksi pahlawan di hari ini, kita kehilangan sosok yang bisa menjadi teladanan. Tidak ada keteladanan dalam berpolitik dan bernegara. Hari ini ada kejahatan demokrasi, kudeta demokrasi, yang dilakukan pemimpin kepada yang dipimpin… Mereka yang berkhianat adalah yang mengkhianati konstitusi dan demokrasi,” tuturnya.

[Tim PARA Syndicate]