Tantangan Indonesia sebagai Ketua ASEAN 2023: Menangani Krisis Kemanusiaan dan Demokrasi di Myanmar

Namun, tanpa alat atau pengaruh yang jelas, ASEAN dibiarkan menghadapi krisis yang terus memburuk di Myanmar.

Indonesia telah menggelar pertemuan darurat ASEAN di Jakarta setelah kudeta militer Myanmar. Kesembilan pemimpin ASEAN dan pemimpin junta Myanmar berkomitmen untuk menyepakati lima konsensus untuk meredakan krisis.

Kelima poin itu adalah menyerukan penghentian segera kekerasan, dialog di antara pihak-pihak terkait, mediasi oleh utusan khusus ASEAN, pemberian bantuan kemanusiaan, dan kunjungan ke Myanmar oleh utusan khusus untuk bertemu semua pihak terkait. Namun, junta menolak kesepakatan tersebut dan melancarkan tindakan kekerasan terhadap rakyat Myanmar yang berlanjut hingga saat ini.

Penggunaan kekuatan militer yang ekstensif dan masif untuk meredam perlawanan warga sipil menjadi cara junta militer Myanmar mempertahankan kekuasaannya. Pengeboman, pembakaran infrastruktur sipil, hingga menarget warga sipil sebagai bagian dari hukuman kolektif terhadap rakyat yang mendukung gerakan pembangkangan nasinonal adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.

Terbaru, junta membubarkan Partai Aung San Suu Kyi, National League for Democracy (NLD).

Langkah yang Dilakukan Masih Kurang

Sebagai ketua ASEAN, Indonesia harus mengambil sikap tegas terhadap junta militer Myanmar yang telah melanggar kesepakatan bersama dan Piagam ASEAN yang mengukuhkan prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan HAM. Sayangnya, respons Indonesia dalam hal ini masih terbilang kurang.

Pernyataan Indonesia dalam Rapat Menteri Luar Negeri pada Februari lalu hanya mengeluarkan pernyataan lemah terkait Myanmar.

Indonesia hanya mengimbau junta untuk menerapkan lima konsensus, tetapi tidak memberikan kejelasan mengenai tindakan apa yang akan diambil terhadap negara anggota yang telah melanggar Piagam ASEAN. Indonesia dilaporkan telah menyusun rencana untuk membuat kemajuan dalam konsensus di acara bersama Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Maret lalu. Rencana tersebut meminta perencanaan implementasi yang menyediakan indikator konkret, praktis, dan dapat diukur dengan waktu tertentu untuk mendukung lima konsensus.

Namun, untuk menerapkan rencana yang bermakna, diperlukan waktu dengan konsekuensi yang nyata atas pelanggaran junta, termasuk ancaman penangguhan Myanmar di bawah Pasal 20 Piagam ASEAN.

Indonesia juga harus menerapkan proposal Presiden Joko Widodo di Pertemuan Puncak Pemimpin ASEAN November 2022 untuk memperluas larangan perwakilan junta pada pertemuan ASEAN. Selain itu, daripada menunjuk individu sebagai utusan khusus untuk Myanmar seperti ketua ASEAN sebelumnya, Indonesia telah mendirikan kantor utusan khusus yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, dan diplomat senior Ngurah Swajaya.

Ini langkah yang cukup maju. Namun, pendekatan Indonesia masih harus direvisi dalam menangani krisis di Myanmar.

Indonesia harus mengambil sikap tegas terhadap junta militer Myanmar yang telah melanggar kesepakatan bersama dan Piagam ASEAN yang mengukuhkan prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan HAM. Sayangnya, respons Indonesia dalam hal ini masih terbilang kurang.

Sejumlah Saran

Berurusan dengan ketidakberpihakan junta telah mengekspos celah dalam blok regional, Indonesia dan Malaysia cenderung memilih pendekatan yang lebih vokal. Sementara itu, Thailand dan Kamboja menunjukkan keengganan untuk mengisolasi junta.

Strategi denominator terendah ini, yang dihadirkan di dalam konsensus tersebut tidak membantu siapapun. Sebaliknya, Indonesia seharusnya mengkapitalisasi peran kepemimpinannya dengan membangun koalisi dari pemerintah-pemerintah yang prihatin, termasuk kekuatan regional serta negara-negara Barat yang selama ini menyembunyikan diri di balik “ASEAN Centrality”, untuk menciptakan tekanan berlapis dan saling melengkapi.

Mempersatukan banyak, jika tidak semua, negara-negara ASEAN, Jepang dan Korea Selatan akan memperkuat tindakan diplomatik dan hukuman. Jakarta seharusnya mendorong pemerintah-pemerintah lain untuk memperketat sanksi ekonomi junta, terutama dari minyak dan gas, dan meningkatkan penegakan sanksi yang sudah ada.

Selain itu, Indonesia harus menyambut tindakan lebih konkret oleh DK PBB, dengan langkah-langkah menuju resolusi yang memberlakukan embargo senjata global, sanksi terhadap militer yang ditargetkan, dan pengacuan situasi tersebut ke Pengadilan Pidana Internasional.

Indonesia tidak dapat mempresentasikan dirinya sebagai broker atau utusan antara otoritas junta dan dunia luar, kecuali tindakan-tindakan hukuman yang diberlakukan dunia cukup berat sehingga menarik perhatian junta.

Seperti yang diungkapkan Presiden Joko Widodo pada pertemuan darurat di Jakarta dua tahun lalu, “Kepentingan rakyat Myanmar harus selalu menjadi prioritas”. Sudah saatnya bagi Indonesia untuk mengambil tindakan nyata dalam mendukung pernyataan ini dan membantu membawa demokrasi.

Indonesia juga bisa mempertimbangkan menggunakan saluran diplomatik untuk memfasilitasi dialog antara militer Myanmar dan National Unity Government (NUG), yang menggulingkan para legislator dan aktivis politik. Ini akan menjadi langkah positif untuk menemukan solusi politik atas krisis dan dapat membantu meredakan ketegangan antara kedua belah pihak.

Indonesia juga bisa bekerja sama dengan anggota-anggota ASEAN lainnya untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada Myanmar, yang menghadapi situasi ekonomi dan kemanusiaan yang genting. Langkah penting lain yang bisa diambil Indonesia adalah terlibat dengan masyarakat internasional untuk meningkatkan kesadaran tentang situasi di Myanmar dan mencari dukungan mereka untuk menemukan respons yang terkoordinasi.

Ini bisa melibatkan kerja sama dengan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), organisasi-organisasi regional seperti Uni Eropa, dan negara-negara individual seperti Amerika Serikat dan Jepang untuk mengkoordinasikan respons yang mencakup tindakan diplomatik dan ekonomi.

Pada akhirnya, Indonesia harus mengambil peran yang lebih proaktif sebagai ketua ASEAN dalam menangani krisis di Myanmar. Sementara konsensus lima poin merupakan langkah yang tepat. Jelas bahwa lebih banyak tindakan yang perlu dilakukan untuk mengakhiri kekerasan dan mengembalikan demokrasi di Myanmar.

Dengan mengambil langkah konkret untuk meminta pertanggungjawaban junta atas tindakan mereka, terlibat dengan kelompok masyarakat sipil dan NUG, serta bekerja dengan masyarakat internasional untuk menemukan solusi yang terkoordinasi, Indonesia dapat membantu mengakhiri krisis dan mengembalikan stabilitas ke wilayah tersebut.

Dengan begitu Indonesia terlibat konkret ikut serta menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia, tidak seperti sekadar protes menolak Israel demi Palestina.

(Tulisan ini sudah diterbitkan di kompas.com dengan judul yang sama [https://www.kompas.com/global/read/2023/04/12/100657870/tantangan-indonesia-sebagai-ketua-asean-2023-menangani-krisis-kemanusiaan?] pada Rabu, 12 April 2023)

Virdika Rizky Utama